REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Mohammad Fachir mengatakan, apa yang saat ini dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia untuk etnis Rohingya tak lepas dari pelaksanaan amanat pendiri bangsa ini. Fachir pun berbagi cerita saat berkunjung langsung ke Rakhine, Myanmar, untuk meresmikan empat sekolah Indonesia di sana pada 2014.
"Uniknya, sekolah yang dibangun di sana itu dua untuk masyarakat Buddha dan dua untuk umat Muslim. Uniknya lagi, kita tidak membatasi sekolah itu hanya untuk Muslim atau hanya untuk Buddha," kata Fachir pada sambutannya di acara Puisi untuk Rohingya di Aula Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Ahad (10/9).
Selain empat sekolah tersebut, Fachir menyebutkan, beberapa waktu lalu Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga meresmikan dua sekolah tambahan. Jadi, saat ini Indonesia memiliki total enam sekolah di sana.
"Untuk ke Rakhine itu tidak gampang. Perjalanan dari Yangoon ke Sittwe itu satu setengah jam. Dari sana, naik speed boad selama dua jam. Untuk ke sekolahnya memakan waktu setengah jam lagi menggunakan mobil," ujarnya.
Saat ini, kata dia, Indonesia sedang dalam proses membangun rumah sakit di sana. Sehingga, menurut dia, pendekatan yang dilakukan oleh Indonesia kepada etnis Rohingya itu komprehensif dan menyeluruh. "Yang paling kita utamakan itu adalah dari sisi kemanusiaan," ucapnya.
Terkait kegiatan Puisi Untuk Rohingya, Fachir menyebutkan, kegiatan ini merupakan wujud nyata dari imbauan 'kita perlu kerja nyata, konkret'. Menurutnya, bukan hanya sekadar membuat pernyataan-pernyataan saja.
"Saya sangat apresiasi dan berterima kasih. Memang kita sangat mengimbau agar simpati, dukungan, dorongan, dan empati itu betul-betul coba kita wujudkan melalui kerja nyata seperti ini," jelasnya.
Ia menambahkan, apa yang dilakukan ini sebetulnya tidak lepas dari pelaksanaan amanat pendiri republik ini dalam bentuk konstitusi melalui Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Para pendiri republik Indonesia sejak awal memposisikan diri, atau ingin Indonesia menjadi negara, anggota masyarakat dunia, yang baik sekaligus kontributif. Indonesia, menurut dia, punya pedoman jelas dalam berdiplomasi dan berhubungan antarnegara.
"Itu sangat mudah diucapkan tapi tidak gampang untuk direalisasikan. Apapun yang kita lakukan, baik diplomasi atau berhubungan antarnegara, itu tak lepas dari amanat konstitusi. Maka kita selalu mengupayakan untuk menjadi bagian dari solusi, bukan persoalan," kata dia.