Sabtu 09 Sep 2017 23:43 WIB

Yusril: UUK DIY Jangan Terlalu Jauh Intervensi Keraton

Yusril Ihza Mahendra
Foto: ROL/Abdul Kodir
Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ahli Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra berpendapat sebaiknya Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) tidak terlalu jauh nengintervensi urusan internal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat khususnya terkait mekanisme pengangkatan rajanya.

"Siapa pun yang menjadi sultan maka dialah yang menjadi Gubernur DIY. Sedangkan bagaimana caranya menjadi sultan diserahkan pada tradisi keraton, tidak perlu diatur dalam undang-undang ," kata Yusril seusai meresmikan Kantor DPW Partai Bulan Bintang (PBB) DIY di Yogyakarta, Sabtu (9/9).

Menurut Yusri,l putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan syarat pencalonan Gubernur DIY dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan (UUK) DIY telah menggambarkan bahwa UU tersebut terlalu jauh mengatur internal keraton.

Penghapusan frasa 'istri' dalam penyerahan daftar riwayat hidup calon Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang diatur Pasal 18 ayat (1) huruf m tersebut, menurut dia, sudah tepat. Karena, kata Yusril,  pada prinsipnya siapa pun yang menjadi Raja Yogyakarta, baik laki-laki atau perempuan secara otomatis diangkat sebagai Gubernur DIY.

"Selama ini memang belum ada Sultanah atau Sultan wanita yang memerintah di Keraton Ngayogyakarta. Tetapi kalau keraton sudah sampai pada satu kesepakatan bahwa perempuan boleh menjadi sultan, maka begitu dia jadi sultan dialah yang yang diangkat menjadi gubernur," kata dia.

Meski frasa 'istri' dalam Pasal 18 tersebut sudah dihapus, Yusril menilai masih ada pasal-pasal lain yang masih cenderung mengintervensi urusan internal Keraton Ngayogyakarta. Misalnya, Pasal 1 butir 4 UUK yang menyatakan bahwa Raja Kasultanan Ngayogyakarta bergelar "Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Khaifatullah, yang selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono.

Menurut Yusril negara perlu memberikan penghormatan terhadap Kerajaan Ngayogyakarta, sebagaimana kerajaan-kerajaan lain sebagai bagian dari sejarah penting Republik Indonesia dengan tidak terlalu jauh mencampuri urusan internalnya. "Saya percaya bahwa kasultanan atau kerajaan pasti punya mekanisme bagaimana menyelesaikan masalah kalau memang ada yang agak menyimpang dari tradisi yang berlaku," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement