REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengungkapkan upaya pembangunan rendah karbon yang disusun pemerintah daerah untuk merespon perubahan iklim, dilakukan dengan salah kaprah di berbagai daerah.
Walhi mengungkapkan upaya pembangunan rendah karbon yang disusun pemerintah daerah tidak memiliki hubungan timbal balik yang baik dengan perencanaan nasional untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca. Bahkan dalam beberapa hal cenderung bertentangan.
Walhi melakukan penelitian dengan melihat rencana aksi daerah penurunan emisi untuk gas rumah kaca (RAD GRK) dan RPJMD Provinsi Sumatra Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur. Penelitian tersebut dilakukan untuk memantau dukungan pemerintah daerah terhadap program penurunan emisi di tingkat nasional.
Menurut manajer kampanye keadilan iklim Walhi nasional Yuyun Harmono, dari lima provinsi yang diteliti semua memiliki program penurunan emisi yang tidak selaras dengan skema di tingkat nasional. Secara umum, dia mengatakan, belum terlihat inovasi ataupun inisiatif yang lebih maju untuk mendorong pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan, rendah karbon, dan berdaya ekonomi tinggi.
“Bahkan kajian dokumen menunjukan daerah, tidak menjawab sumber emisi dari wilayang-wilayah tersebut," kata Yuyun melalui siaran pers Walhi yang diterima di Jakarta, Jumat (8/9).
Salah satu contoh, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jawa Barat sudah memasukkan target penurunan emisi gas rumah kaca namun dilakukan secara salah kaprah. Seharusnya, penurunan emisi gas rumah kaca dilakukan di dua sektor yaitu energi dan sektor berbasis lahan.
Sebab, di provinsi tersebut banyak pembangkit listrik batu bara. Namun yang dilakukan adalah di sektor pengelolaan limbah karena pilihan sektor tersebut lebih murah.
Selain itu, Provinsi Sumatera Selatan dalam perencanaannya justru mendorong perubahan fungsi kawasan dan perluasan perkebunan sawit dan hutan taman industri di kawasan-kawasan gambut. Sedangkan kawasan tersebut dinyatakan sangat rentan untuk bisa dilakukan upaya pembangunan daerah rendah karbon.
Masalah serupa juga ada di semua provinsi lain yang dijadikan wilayah kajian. Hal ini jelas membutuhkan perbaikan sehingga Indonesia konsisten menjadi salah satu pejuang penanganan perubahan iklim di forum-forum internasional seperti COP 23.
Pidato Presiden Joko Widodo di COP tahun 2015 di Paris, Prancis, menyampaikan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional sampai dengan tahun 2030. Pada akhir 2016, pemerintah di Tanah Air telah menyerahkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Secretariat United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Perjanjian antarnegara di Paris tersebut juga telah dilakukan melalui pengesahan UU No. 16 tahun 2016. Hal ini merupakan kebijakan kelanjutan dari periode pemerintahan sebelumnya, yang menyatakan Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sampai tahun 2020 sebesar 26 persen dari kegiatan bisnis dengan sumberdaya.
Upaya Indonesia sendiri 41 persen dengan bantuan internasional sebagaimana Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Pittsburgh, Amerika Serikat pada pertemuan G-20 tahun 2009. "Jika tidak ada perubahan kebijakan dalam RPJMD ke depan oleh pemerintah daerah baru paska pilkada serentak 2018, kami khawatir target penurunan emisi Indonesia tidak akan tercapai," kata Yuyun.