REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan novelis Tere Liye bersama Republika Penerbit dipandang bisa mematikan dunia literasi. Sebab, tingginya pajak membuat penulis malas berkarya dan akhirnya membuat buku menjadi barang langka.
Kepala Redaksi Republika Penerbit Syahruddin El-Fikri mengatakan pajak buku yang demikian tinggi memang membuat penulis atau yang baru belajar ogah-ogahan menciptakan karya masterpiece. "Mereka berpikir buat apa jadi penulis, pajaknya besar, mending jadi dokter, PNS, kiai daripada jadi penulis," ujarnya.
Kalaupun akhirnya menulis buku, kualitasnya jadi biasa. Sehingga, yang mengalami kerugian sejatinya bukan penulis tapi pemerintah atau negara. "Karena orang jadi ogah-ogahan membuat buku bagus, kualitasnya jadi tidak terjamin, yang penting asal ada," ujarnya.
Namun, keputusan Tere dilihat sebagai tantangan oleh Republika Penerbit. Syahrudin mengatakan Republika Penerbit jadi harus lebih optimal menggali potensi penulis novel best seller lainnya atau bahkan penulis muda.
Di satu sisi ketika Tere memutuskan untuk tidak menerbitkan buku lagi, di Republika Penerbit maupun Gramedia Pustaka Utama maka ini jadi kerugian besar. Apalagi, buku dan novel yang ditulis Tere banyak yang best seller.
"Tapi di sisi lain ini juga tantangan, peluang bagi kami untuk lebih optimal lagi menggali potensi penulis yang ada, baik pemula maupun yang sudah ada. Ataupun kita mencari penulis best seller juga," katanya, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (6/9).
Tere Liye sepakat dengan Republika Penerbit dan Gramedia Pustaka Utama efektif per 31 Juli 2017 menghentikan menerbitkan buku karya Tere. Ia menghentikan penerbitan bukunya karena pajak buku untuk penulis dianggap terlalu tinggi.