REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan puncak musim kemarau 2017 mulai Juni hingga September. Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) BMKG Indonesia, Hary Djatmiko mengatakan, awal musim kemarau didominasi antara bulan Mei dan Juni.
Sebelumnya, BMKG memprediksi wilayah Sumatera awal musim kemarau terjadi pada Mei-Juni; di wilayah Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) terjadi pada Juni-Juli. Untuk wilayah Maluku dan Papua musim kemarau terjadi antara Mei-Agustus, wilayah Jawa Musim kemarau terjadi pada April di wilayah Jawa Timur (Jatim) antara Mei-Juni terjadi pada wilayah Jawa Tengah (Jateng)-Jawa Barat (Jabar).
"Puncak kemarau antara Juli-Agustus-September," kata Hary saat dihubungi Republika.co.id di Jakarta, Selasa (5/9).
Terkait dengan monitoring pada saat puncak kemarau tersebut, Hary mempersilakan masyarakat bisa mengakses atau mengunduh informasi di laman www.bmkg.go.id terkait monitoring hari tanpa hujan berturut-turut per 10 hari.
Hary mengatakan, berdasarkan update pekan terakhir Agustus 2017, monitoring tanpa hujan berturut-turut 30-60 hari bahkan ada yang diatas 60 hari. Meski ia mengakui itu mengindikasikan kekeringan tapi masih dalam tataran kekeringan normal dan berada di puncak musim kemarau. "Jadi, bukan berarti kemarau panjang atau kekeringan panjang," ujarnya.
Selain itu, kata Hary, kalau dikaitkan kekeringan juga ditambahkan neraca air untuk mengetahui tingkat ketersediaan air dalam tanah. Kalau hal itu dikolaborasikan dengan hari tanpa hujan berturut-turut itu maka ini bisa dilakukan serangkaian upaya antisipasi
"Berarti dalam jangka pendek upayanya seperti penyediaan air bersih, embung. Sementara jangka panjang melakukan pengeboran sumur bor, mencari sumber mata air yang sangat dalam," ujarnya.