Senin 04 Sep 2017 18:39 WIB

Pengusiran Dubes Myanmar Dinilai Hanya Timbulkan Masalah Baru

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Gita Amanda
 Aksi massa mengutuk kebiadaban militer Myanmar terhadap warga Rohingya di depan Kedubes Myanmar, Jakarta, Senin (4/9).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Aksi massa mengutuk kebiadaban militer Myanmar terhadap warga Rohingya di depan Kedubes Myanmar, Jakarta, Senin (4/9).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Setidaknya, ada dua wacana yang belakangan banyak menjadi perbincangan soal pembantaian etnis Rohingya di Myanmar. Pertama tentang wacana pengusiran Dubes Myanmar untuk Indonesia, kedua tentang evaluasi terhadap Dubes Indonesia untuk Myanmar.

Ketua Centre for Local Law Development Studies (CLDS), Jawahir Thontowi menilai pengusiran Dubes Myanmar untuk Indonesia sangat tidak diperlukan. Ia merasa, pengusiran itu cuma akan menimbulkan masalah baru, dan malah akan memutus jalur diplomasi Indonesia ke Myanmar.

"Jangan gunakan diplomasi balas dendam, tetap lakukan kebijakan bebas aktif," kata Jawahir di Fakultas Hukum UII, Senin (4/9).

Ia berpendapat, Indonesia memang harus proaktif mengatasi permasalah itu tapi tidak boleh dilakukan dengan pengusiran terhadap Dubes Myanmar. Jawahir mengingatkan, diplomasi itu bisa dilakukan satu negara dengan negara lain hanya bila ada hubungan bilateral.

Untuk itu, sanksi pengusiran Dubes Myanmar dari Indonesia dirasa tidak diperlukan dalam mengatasi persoalan pembantaian etnis Rohingya di Myanmar. Namun, ia mengritik keras kinerja dari Dubes Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi, yang dianggap kurang aktif mengatasi persoalan itu.

Jawahir turut menolak wacana mengirimkan pasukan bersenjata dari Indonesia seperti Densus 88, yang dianggap akan menyalahi peraturan internasional. Menurut Jawahir, permasalahan Rohingnya seperti saat ini membutuhkan tim independen, bukan kekuatan militer secara kolektif sekalipun.

"Saya mengritik itu, itu gegabah, tidak bisa, cuma akan menimbulkan kekacauan diplomatik," ujar Jawahir.

Senada, Keprodi Hukum Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) Sri Wartini mengingatkan, pengiriman pasukan militer dari satu negara ke negara lain bisa jadi pelanggaran hukum internasional. Terlebih, bila negara yang dituju tidak melakukan permintaan bantuan pasukan militer.

"Kalau pasukan dari Dewan Keamanan PBB atas dasar situasi tertentu bisa dikirim, tapi kita tidak bisa mengirim pasukan, apalagi negara yang dituju tidak meminta, itu pelanggaran hukum internasional," kata Sri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement