REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada Selasa (29/8) menerima surat Panggilan Sidang dari Mahkamah Konstitusi (MK) terkait permohonan Judicial Review (JR) Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945.
Surat Panggilan Sidang dari MK No 472.60/PAN,MK/8/2017 ditujukan kepada kuasa hukum PSI, Jaringan Advokasi Rakyat (Jangkar Solidaritas), yang terdiri dari; Dr Surya Tjandra SH, LL.M, Dini Shanti Purwono SH, LL.M, Kamaruddin SH, Nasrullah Nur SH, Rian Ernest SH, Viani Limardi SH, dan I Nengah Yasa Adi Susanto SH MH, CHT.
Pada 21 Agustus 2017 lalu melalui Jaringan Advokasi Rakyat PSI (disingkat "Jangkar Solidaritas") bersama DPP PSI datang ke MK mengajukan permohonan JR Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945, yaitu pasal 173 ayat (3) juncto pasal 173 ayat (1) UU Pemilu dan Pasal 173 ayat (2) huruf E.
Kuasa hukum PSI Dini Shanti Purwono mengatakan, norma verifikasi partai diatur dalam pasal 173 ayat (3) juncto pasal 173 ayat (1) UU Pemilu. Ketentuan tersebut diskriminatif ketika hanya berlaku untuk partai baru. Dini menilai, verifikasi partai politik harus diberlakukan ke semua partai politik.
“Meski partai peserta pemilu 2014 lalu sudah melakukan dan lolos dalam verifikasi partai, namun hal tersebut tidak menjamin bahwa partai politik tersebut masih tetap memenuhi persyaratan yang berlaku pada saat ini mengingat adanya dinamika dan perubahan yang terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Tidak hanya di internal partai, kondisi demografi Indonesia juga sudah berubah” kata Dini seperti dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (29/8).
Misalnya, tambah Dini, faktor perubahan demografi penduduk, pemekaran daerah, dan perubahan kepengurusan di partai-partai politik dalam kurun waktu lima tahun sejak verifikasi terakhir dilaksanakan juga harus diperhitungkan.
Oleh karenanya, Dini berharap MK bisa membatalkan ketentuan tersebut. Sehingga semua partai calon peserta pemilu diperlakukan sama. Untuk diketahui, agar bisa lolos sebagai peserta pemilu, partai harus memiliki sejumlah persyaratan. Di antaranya memiliki kepengurusan di semua provinsi, kepengurusan di 75 persen Kabupaten/kota, kepengurusan di 50 persen kecamatan, dan memiliki sekurang-kurangnya 1000 anggota atau 1/1000 dari jumlah penduduk.
Selain norma terkait verifikasi partai yang hanya mewajibkan partai baru, PSI juga menggugat pasal 173 ayat (2) huruf E yang mengatur keterwakilan perempuan. Dini menjelaskan, syarat yang mewajibkan keterwakilan 30 persen perempuan hanya di kepengurusan pusat merupakan tindakan diskriminatif. Sebab, kans para ”srikandi” untuk terlibat aktif dalam kepengurusan di tingkat daerah menjadi terbatasi.
“Dengan kewajiban 30 persen keterwakilan di semua level kepengurusan, partai menjadi memiliki tanggung jawab untuk mengkader perempuan. Dengan pasal 173 ayat (2) huruf E yang ada sekarang kami jadi merasa tidak memiliki payung hukum untuk mendorong affirmative action, di mana keterwakilan perempuan harus terjamin,” ujar Dini menegaskan.
Dini menambahkan, ketentuan tersebut juga dinilai tidak sejalan dengan pasal 245 di UU yang sama. Yakni, partai memiliki kewajiban mengalokasikan kursi calon legislatifnya ke perempuan sebanyak 30 persen. Dengan minimnya jumlah perempuan di kepengurusan, upaya untuk memenuhi kuota tersebut akan menjadi sulit.
UU Pemilu yang baru disahkan mengabaikan hak dan kepentingan perempuan pada tingkatan provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Menurut Dini, perempuan dan laki-laki adalah sama-sama merupakan warga negara dan karenanya memiliki hak-hak kewarganegaraan dan hak politik yang sama di negara Indonesia.
“Tak boleh ada diskriminasi politik hanya karena perbedaan jenis kelamin, sebagaimana juga tidak dibenarkan diskriminasi terhadap perbedaan agama, suku, bahasa, kelas ekonomi, ras, dan lain-lain. Karena hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia secara universal dan juga UUD 45," ujarnya.
Pada kesempatan sama Sekjen PSI, Raja Juli Antoni, menghargai dukungan sayap perempuan dari beberapa partai politik lain yang telah menyatakan dukungannya secara terbuka terhadap permohonan uji materi untuk kuota perempuan di kepengurusan partai hingga ke kecamatan tersebut. "Kami mengajak seluruh partai lain untuk mendukung upaya konstitusional kami ini, kami siap bekerja sama untuk memastikan partisipasi perempuan dalam politik agar politik di negeri ini lebih manusiawi dan sejalan dengan rasa keadilan," ujar Raja Antoni.
Mengenai agenda Panggilan Sidang dari MK, Panitera MK meminta kuasa hukum menghadap pada Sidang Panel MK pada Selasa, 5 September 2017 pk 14:00 dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.