REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) tidak transparan dalam pengelolaan uang dari tebusan yang diberikan oleh perusahaan yang mengelola lahan di register 40. Direktur Ekesekutif Walhi Sumatera Utara, Dana Tarigan memperkirakan jumlah dana yang diperkirakan mencapai Rp 7,8 triliun harus dipertanggungjawabkan kepada publik.
"Perintah putusan MA di eksekusi semuanya, kemudian perusahaan diberikan waktu satu siklus tanam sawit, kemudian dihutankan kembali. Nah, uang yang satu siklus tanam tersebut kan seharusnya dikembalikan ke negara. Kalau menurut hitungan kita sudah mencapai Rp 7,8 triliun, siapa yang pengang," kata Dana dalam di Jakarta, Kamis (24/8). Dana menegaskan, jika uang tersebut belum dibayarkan oleh PT Torganda (perusahaan milik DL Sitorus) maka pemerintah harus meminta uang tersebut. Kalau tidak menurut dia, ada kerugian yang dialami oleh negara dan memunculkan kecurigaan kalau uang tersebut di bagi-bagi kepada oknum.
Dana mengacu pada putusan Mahkamah Agung nomor 2642/K/PID/2006, yang sudah berkekuatan hukum dan memutuskan DL Sitorus, bersalah melakukan penguasaan terhadap hutan negara, lewat perusahaannya, PT Torganda dan PT Torus Ganda. Putusan kasasi itu menyebutkan; pertama, Perkebunan kelapa sawit seluas ± 23.000 ha, yang dikuasai Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan dan PT Torganda, beserta seluruh bangunan yang ada di sana, dirampas untuk negara lewat Departemen Kehutanan.
Kedua, Perkebunan kelapa sawit seluas sekitar 24.000 ha, yang dikuasai Koperasi Parsadaan Simangambat Ujung Satu dan PT Torus Ganda, beserta seluruh bangunan yang ada di sana, juga dirampas untuk Negara lewat Departemen Kehutanan. "Terakhir kami ada raker (rapat kerja) dengan KLHK pas puasa. Kami tanyakan kenapa lahan tersebut belum di eksekusi. Mereka bilang sedang siapkan tim, kami bilang kalian siapkan terus tapi sampai sekarang tidak dieksekusi," tegas Dana.