REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Medan Mont Gomery Munthe menilai pencabutan sejumlah poin dalam Permenhub tentang angkutan online dapat memicu masalah baru. Pembatalan 14 poin Permenhub Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek oleh Mahkamah Agung (MA) ini dinilai dapat menimbulkan konflik antara angkutan konvensional dan angkutan online, terutama dalam hal tarif.
"Masalah tarif ini kan diberikan kebebasan kepada aplikasi untuk menentukannya. Kalau aplikasinya berniat baik, ya bagus. Tapi jika berniat buruk bisa mematikan angkutan konvensional dengan cara memberikan tarif murah," kata Mont, Rabu (23/8).
Mont mengatakan, pencabutan poin dalam peraturan menteri tersebut merupakan keputusan MA yang harus dipatuhi. Namun, dia mengaku tetap tidak setuju dengan keputusan itu.
Menurut dia, pemerintah tetap harus memantau tarif yang ditentukan oleh angkutan berbasis aplikasi. Hal ini dilakukan untuk menghindari gejolak sosial yang muncul adanya perbedaan tarif yang dibuat angkutan berbasis aplikasi tersebut.
"Ini kan negara hukum harus ada keadilan. Tarif angkutan konvensional diatur tapi mereka (angkutan online) suka hati, kan kurang bagus juga," ujar dia.
Menurut Mont, keputusan MA ini telah membuat kecemasan bagi angkutan konvensional. Dia pun mengaku tidak mengerti dengan dasar MA dalam membuat keputusan seperti itu.
"Bisa terjadi gejolak sosial dan itu membahayakan karena hasil dari keputusan MA memberikan kebebasan kepada angkutan online," kata Mont.