REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak pemerintah mengevaluasi kembali penerapan hukuman mati di Indonesia. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pun mengakui proses sistem peradilan di Indonesia memang masih belum sempurna.
Menurut dia, kasus serupa pun tak hanya terjadi di Indonesia. Namun juga terjadi di sejumlah negara lainnya termasuk Amerika. “Ya di mana-mana juga tidak ada yang sempurna. Bukan hanya pernah terjadi di Indonesia, di Amerika juga pernah, sudah mau suntik mati dibatalin, ada bukti baru. Pernah kejadian,” kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (23/8).
Kendati demikian, Yasonna mengatakan proses hukum juga harus transparan serta peradilan dapat menerima novum. Yasonna menyampaikan, meskipun proses peradilan di Indonesia masih tak sempurna, namun hukum masih memberikan ruang bagi masyarakat untuk melakukan kasasi dan peninjauan kembali.
“Proses pengadilan, kasasi, kemudian PK. Kan kalau terakhir sudah ada PK, ada kemungkinan grasi, kemungkinan yang lain-lain. Jadi hukum memberi peluang-peluang seperti itu,” tambahnya.
Yasonna pun berharap, peristiwa serupa seperti yang dialami mantan terpidana mati Yusman Telaumbanua tak terulang kembali. Lembaga peradilan juga dimintanya melakukan evaluasi dan perbaikan sistem peradilan. Begitu juga dengan penyidikan di kepolisian yang perlu melakukan perbaikan kinerja.
“Kalau sudah ancaman hukuman mati harus betul-betul ada jaminan pendampinan hukum. Itu hukum acara pidana harus didampingi oleh pengacara,” kata Yasonna.
Ia pun meyakini lembaga seperti Mahkamah Agung (MA) juga akan melakukan pembenahan dan evaluasi terkait proses peradilan. Desakan dari Kontras ini berkaca dari kasus Yusman yang merupakan mantan terpidana mati yang penyelidikannya direkayasa. Yusman terlibat dalam kasus pembunuhan berencana.