Senin 14 Aug 2017 17:07 WIB

Merawat Kewaspadaan Pesisir Barat Sumatra Terhadap Gempa

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Muhammad Fakhruddin
Sejumlah siswa berlari untuk menyelamatkan diri dari reruntuhan saat simulasi kebakaran dan gempa bumi di SD El Fitrah, Jalan Cibodas, Kota Bandung, Rabu (26/4).
Foto: Mahmud Muhyidin
Sejumlah siswa berlari untuk menyelamatkan diri dari reruntuhan saat simulasi kebakaran dan gempa bumi di SD El Fitrah, Jalan Cibodas, Kota Bandung, Rabu (26/4).

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Sapto Andika Candra/Jurnalis Republika

Ahad (13/8) pukul 10.08 WIB Bengkulu kembali diguncang gempa bumi. Gelombang gempa yang berpusat di 71 kilometer (km) bara daya Bengkulu Utara merambat hingga Sumatra Barat dan dirasakan sebagian besar kabupaten dan kota di Sumbar. Di Padang misalnya, masyarakat sempat panik ketika gempa 6,6 Skala Richter (SR) tersebut mengguncang. Pasien-pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP M Djamil dievakuasi keluar gedung.

Masyarakat Padang dan Sumatra Barat secara umum sepertinya sudah mulai terdidik untuk menyikapi gempa. Pengalaman-pengalaman yang dilamai saat gempa-gempa sebelumnya membuat masyarakat Padang "sedikit terbiasa". Alangkah baik bila "terbiasa" yang dirasakan masyarakat Sumatra Barat dibarengi dengan kewaspadaan dan ilmu yang cukup tentang potensi kegempaan di Sumatra bagian Barat yang sebetulnya masih cukup tinggi.

Ada pendapat, lebih baik muncul gempa-gempa dengan magnitudo kecil untuk mengurangi energi yang tersimpan dari pada nihil gempa kecil namun tiba-tiba ter-release gempa dengan magnitudo besar. Apalagi, Sumatra barat bisa terdampak gempa yang muncul dari zona megathrust. Sebuah zona subduksi yang masih menyandera energi untuk dilepaskan. Patahan megathrust merupakan zona tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Euroasia. Lantas bagaimana sebetulnya risiko kebencanaan yang dihadapi masyarakat pesisir barat Sumatra? Masih perlu kah waspada?

Kepala Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya mengungkapkan bahwa pada prinsipnya sejumlah aktivitas gempa signifikan, baik yang hanya dirasakan atau yang menimbulkan kerusakan ringan merupakan bentuk rilis tegangan kerak bumi pada masing masing sumber gempa baik di zona subduksi maupun di zona sesar aktif. Sebagai informasi, subduksi merupakan bentuk tumbukan dua lempeng bumi di mana salah satu lempeng menghujam ke bawah lempeng lainnya. Sementara sesar merupakan bentuk pergerekan lempeng secara mendatar.

Andi mengungkapkan, terjadinya gempa dalam kurun waktu sepekan terakhir memang terjadi di titik-titik yang selama ini dan berdasarkan historisnya memang dikenal sebagai zona potensi aktif gempa. Catatan BMKG, selain gempa Bengkulu kemarin, pada (9/8) sempat terjadi gempa 2,8 SR di 2 km barat laut Kepahiang, Bengku. Sebelumnya, pada (2/8) juga terjadi gempa 3,2 SR di lokasi yang sama, Kepahiang. Pada (1/8) juga terjadi gempa 3,3 SR di 21 km timur laut Padang Sidempuan. Sejak Juli lalu, sejumlah gempa juga tercatat muncul di sekitar Padang Sidempuan, Sumatra Utara.

"Di antara kejadian kejadian berbagai gempa signifikan tersebut sebenarnya tidak ada hubungan antar satu sama lain. Masing masing gempa rilis energi pada seismogeniknya masing-masing," ujar Andi, Ahad (13/8).

Sedangkan untuk kasus gempa Sumatra belakangan ini, lanjutnya, beberapa gempa yang aktif akhir-akhir ini bersumber di darat tepatnya di zona sesar sumatra, tidak di zona megathrust samudra hindia. Menurutnya, masyarakat patut mencurigai aktivitas zona megathrust kalau rentetan kejadian itu bersumber di zona tumbukan lempeng dangkal.

"Tetapi monitoring kami akhir-akhir ini justru aktivitas gempa dirasakan lebih banyak terjadi di daratan sumatra pada jalur zona sesar Sumatera," katanya.

Artinya, rentetan aktivitas gempa signifikan yang terjadi di wilayah Indonesia akhir-akhir ini tidak berhubungan dengan aktivitas gempa di zona megathrust sebelah barat Sumatra. Andi juga mengamini pandangan bahwa rilis energi melalui gempa kecil akan mengurangi potensi energi gempa besar yang sebenarnya. Menurutnya, pada setiap zona sumber gempa sebaiknya selalu aktif dalam rilis energi, sehingga tidak terjadi proses akumulasi medan tegangan kerak bumi.

"Jika zona sumber gempa tidak terjadi aktivitas gempa, ini yang berbahaya, ini akan menjadi zona seismic gap yang sedang mengumpulkan medan tegangan yang suatu saat akan lepas sebagai gempa besar. Seismic gap adalah zona sumber gempa yang sedang sepi yang satu saat akan rilis dalam bentuk gempa besar," jelas Andi.

Kaitannya dengan zona sumber gempa di sebelah barat Sumatra, Andi mengakui bahwa banyak ahli yang menilai zona tersebut sebagai seismic gap. Menyikapi potensi gempa besar yang sebetelnya masih tersimpan, BMKG menegaskan untuk terus melakukan monitoring aktivitas gempa. Monitoring yang dilakukan pun tidak saja berbasis seismik tapi juga melakukan monitoring dalam kontek riset precursor gempabumi menggunakan metoda magnet bumi. Selain itu, sistem diseminasi info gempa dan peringatan dini tsunami juga sudah dipasang di seluruh kota kabupaten/provisi di barat Sumatera dengan peralatan DBV/WRS. Sirine tsunami juga dibangun sebagai sarana perintah evakuasi jika terjadi gempabumi berpotensi tsunami.

"Kita berkomitmen dan berupaya semaksimal mungkin untuk menyelamatkan masyarakat pesisir dari ancaman tsunami," katanya.

Pakar kegempaan sekaligus tim mitigasi bencana dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Irwan Meilano menambahkan, gempa yang terjadi beberapa hari terakhir ini membuktikan bahwa wilayah Indonesia secara tektonik memang aktif. Bahkan, beberapa gempa terjadi pada wilayah yang memang telah terdefinisi secara baik sumber gempanya, namun beberapa gempa terjadi di wilayah yang belum diketahui potensinya.

"Termasuk gempa yang terjadi beberapa waktu alu, di daerah Kabupaten Bandung-Garut, termasuk gempa yang kita belum ketahui parameter sumbernya. Walaupun gempa ini kecil, tetapi menjadi kunci awal untuk memahami potensi yang sesungguhnya," ujar Irwan.

Tapi Irwan mengingatkan, rilis energi melalui gempa-gempa kecil sebetulnya tidak serta merta mengurangi energi yang tersimpan dalam potensi gempa besar. Ia memisalkan, melalui gempa yang kecil, misalnya skala 5, tidak mengurangi energi secara berarti untuk potensi gempa skala 8 (misalnya). Kecuali, lanjutnya, apabila gempa yang terjadi Mw 7.5 dan potensinya adalah Mw 8, maka  pernyataan "mengurangi energi" tersebut benar. Irwan memilih menggunakan satuan Magnitudo (M) untuk menyebutkan besaran gempa dibanding SR.

"Kebanyakan peneliti kegempaan, termasuk para pakar di Indonesia memahami, bahwa potensi gempa itu sangat tinggi. Dan terdapat banyak wilayah yang sudah memasuki siklus terjadinya gempa, sehingga apabila terjadi diwaktu dekat, bukan sesuatu yang aneh," katanya.

Irwan mengungkapkan, salah satu contohnya adalah pantai barat Sumatra termasuk Mentawai, di sekitar Selat Sunda, dan juga beberapa sumber gempa di daratan Jawa seperti sesar Lembang.

"Misalnya, gempa 2016 Mw 7.8, gempa tersebut tidak terjadi di Mentawai, tetapi jauh sekali di samudra hindia (indonesia) dibagian lempeng oceanic. Dan sama sekali tidak mengurangi potensi di Mentawai, yang bisa mencapai Mw 8.7-8.9," ujar Irwan.

Ia mengingatkan, bukan menakut-nakuti, bahwa potensi gempa di pesisiri barat Sumatra masih cukup tinggi. Masyarakat diminta paham dengan kondisi ini dan siap bila sewaktu-waktu benar terjadi gempa dengan magnitudi tinggi. Pemerintah pun diminta sigap dalam melakukan mitigasi dan edukasi kepada masyarakat. Gempa besar memang sewaktu-waktu bisa mengintai, masyarakat lah yang harus siap.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement