Senin 14 Aug 2017 08:02 WIB

Tampang Diktator: Dari Earl Warren, Robiespierre, Hingga Charlie Chaplin

Chaplin ketika memparodikan sosok diktator bernama Adenoid Hynkel.
Foto: wikipedia.com
Chaplin ketika memparodikan sosok diktator bernama Adenoid Hynkel.

Oleh Djoko Edhi Abdurrahman*

Jenderal Wiranto dan Prof Mahfud MD membantah Presiden Jokowi diktator di Metro TV.

Tokoh yang dengan gamblang menyatakan Jokowi diktator ialah Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas. Tudingan itu presisi karena Busyro orang hukum, bukan politisi, Ketua Komisi Yudisial yang pertama, mantan ketua KPK, dan namanya sudah besar ketika melawan rezim Soeharto di Orba. Antara lain, yang monumental, ia jadi pengacara korban waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, yang heboh itu.

Sukar memang membantah Busyro. Bagaimana Wiranto mau membantahnya, karena selama hayatnya berada di kekuasaan otoriter, sampai Gus Dur mengasuhnya. Mahfud MD juga, takkan mampu, karena Mahfud tak kunjung melawan diktator semasa Orba.

Jokowi sendiri menyatakan ia bukan diktator. Bantahan yang wajar dan harus. "Mosok tampang begini disebut diktator?" katanya. Ndeso.

Lho, teori Lambrosso sudah 100 tahun lebih tak dipakai orang. Bahkan, majelis hakim kasus Jessica tak menjadikan pertimbangan output teorema Lambrosso. Ilmu kriminologi Lambrosso yang masih dipakai hanya di Hollywood, penjahat mesti tampangnya menyeramkan. Castingnya didasarkan pada Lambrosso. Jessica juga mau dihukum dari Lambrosso.  Karena ia garuk-garuk yang, dalam bukti ahli kepolisian, jemari Jessica memanjang dua kali lipat, oleh Hasiholan dipanggil bukti mak lampir. Manipulasi bukti luar biasa.

Tampang Hitler secara Lambrosso tak mungkin jadi diktator. Culun, lucu, kumis ditempel yang lalu dibikin lelucon di film Charlie Chaplin. Tak ada mode kumis seperti itu sampai Hitler membikinnya.

Juan Peron, mana ada ia punya tampang diktator, tapi toh dinobatkan oleh sosiolog sedunia, fasis nonmiliter. Dengan cakapnya, Peron mengekploitasi istrinya Evita Peron, dan mengirim semua tentara radikal ke Malvinas, perang 100 hari, untuk bunuh diri. Orangnya juga culun. Dont cry Argentina, teriak Evita sesaat Peron diturunkan.

Robiespierre juga tak punya tampang diktator yang mampu mengirim 60 ribu orang ke hukuman mati. Bagaimana  pendekar keadilan, pengacara yang membela orang kecil itu berubah menjadi diktator dengan juluk Reign of Terror (pemerintahan teror). Terakhir, Robiespierre digantung massa.

Sepanjang teorema Lambrosso, Jokowi tak terkecuali. Jika Lambrosso disingkirkan, diktator adalah tindakan, bukan style, gesture, maupun penampakan. Yang dimaksud Busyro, adalah tindakan penerbitan Perppu No 2/2017 yang tanpa proses hukum. Bukan untuk bela khilafatnya HTI.

Saya setuju tindakan itu diktator. Dalam referensi ilmiah, diktator lebih ditinjau dari urusan bagaimana peraturan perundang-undangan dibuat dan dilaksanakan sebagai kebajikan. Dalam istilah Robiespierre ialah virtue (kebajikan). Namun kebajikan tanpa teror, kata Robiespierre, adalah kekonyolan.

Perppu tanpa proses hukum adalah kebajikan tanpa teror. Agar tak konyol, negara kudu menteror warganya. Itu baru bajik. Terus? Batas antara negara dengan individu masyarakat hanya satu: hukum, law, rechts. Hilangkan saja itu.

Pemerintahan tanpa batas antara negara dengan individu masyarakat, adalah diktatorial. Itu kebajikan ala Robiespierre, presiden pertama yang diproduksi Revolusi Bastille. Reign of teror.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement