Kamis 10 Aug 2017 16:06 WIB

Siswa SD Tewas Di-bully, Mensos: Pihak Sekolah Lalai

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Andri Saubani
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa
Foto: ROL/Abdul Kodir
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG --Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyesalkan aksi brutal yang dilakukan siswa SD Longkewang, Sukabumi, Jawa Barat. SR (8 tahun) murid kelas II meregang nyawa diduga setelah berkelahi dengan temannya. Khofifah pun, meminta pihak sekolah bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

Khofifah beranggapan, ada unsur kelalaian yang dilakukan guru dalam kasus ini. Guru, seharusnya bukan hanya mentransformasikan ilmu pengetahuan, tetapi juga mengajarkan etika dan adab kepada anak-anak. "Karena terjadi di lingkungan sekolah maka pihak sekolah dalam hal ini guru kelas dan kepala sekolah harus bertanggung jawab," ujar Khofifah kepada wartawan usai pencairan Program Keluarga Harapan (PKH) Tahap III di Kabupaten Bandung Barat, Kamis (10/8).

Baca juga, Kepsek SD Sukabumi Bantah Siswa Tewas Akibat Berkelahi.

Khofifah mengatakan, kasus seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi jika guru lebih awas dan peka dalam mengawasi sikap dan perilaku seluruh murid didiknya. Ia yakin kejadian tersebut adalah puncak konflik akibat saling ejek yang berujung dengan perkelahian. "Semestinya, guru bisa langsung merespons," katanya.

Respons guru, kata dia, bisa dengan menengahi kedua anak itu atau memanggil orang tuanya. Apabila sudah tidak bisa lagi, maka harus dicari solusi efektif sampai kemungkinan mengembalikan kepada orang tua.

Seperti diketahui, SR meniggal dunia diduga setelah terlibat perkelahian dengan temannya, pada Selasa (8/8). SR diduga menjadi korban perundungan atau bullying. Saat ini peristiwa nahas tersebut sedang diselidiki jajaran Polres Sukabumi. Tak hanya dipukul, telinga SR disumbat menggunakan keripik, dan disiram dengan minuman ringan.

Ditanya soal hukuman kepada pelaku, Khofifah mengatakan karena pelaku adalah anak-anak maka bentuk hukuman yang diberikan berdasarkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). "Proses hukum tetap bisa dilakukan, namun tetap harus mempertimbangkan hak-hak anak. Meskipun, dari aspek pidana, jelas ini sebagai bentuk kejahatan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement