Rabu 09 Aug 2017 20:59 WIB

Iklim Kering Sumbang Kebakaran Hutan

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Ilham Tirta
Ilustrasi Kebakaran Hutan
Foto: Antara
Ilustrasi Kebakaran Hutan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Andi Sakya mengakui kondisi iklim Indonesia tahun ini jauh lebih kering dibanding tahun 2016. Hal tersebut menjadikan semua pihak meningkatkan waspadaan.

"Kondisi kewaspadaan perlu ditingkatkan sampai dengan Oktober," katanya kepada Republika.co.id, Rabu (9/8).

Deputi Meterologi BMKG, Yunus Swarinoto mengatakan, saat ini angin utama dari Australia bersifat kering yang membuat potensi hujan sangat rendah. Hal tersebut secara langsung berpotensi terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) besar di Kabupaten Merauke, Papua.

"Merauke sore ini kering sekali," katanya menunjukkan gambar dari satelit. Ia menambahkan, belahan bumi selatan wilayah Indonesia bahkan saat ini musim kemarau yang diperkirakan berlangsung sejak Mei hingga September.

Sebenarnya, karhutla yang terjadi pada 2017 ini tidak didominasi kebakaran di lahan gambut. Kepala Badan Restoras Gambut (BRG), Nazir Foead mengatakan, dalam pantauannya dua pekan terakhir menggunakan perhitungan tingkat kepercayaan 30 persen, titik panas atau hotspot cukup banyak. Dalam satu pekan bahkan hotspot bisa mencapai 700 titik.

“Dari 700 hotspot per minggu, itu yang di lahan gambut seperempat. Ini hotspot ya,” ujarnya melalui sambungan telepon. Ia menjelaskan, pemilihan tingkat kepercayaan 30 persen karena kekhawatiran pihaknya terhadap lahan gambut. Seperti diketahui, karakter kterbakarnya gambut adalah panas di bawah permukaan tanah sehingga sulit terdeteksi. Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) maupun pihak pemerintah lain lebih menggunakan tingkat kepercayaan 80 persen.

Berdasarkan pengalamannya, dengan tingkat kepercayaan 30 persen, titik panas tersebut bisa berasal dari cerobong asap, pabrik ataupun sumber panas lainnya yang bukan karhutla. Menurutnya, angka hotspot pada minggu ini mengalami penurunan dratsis dari 700 per hari menjadi hanya puluhan per hari. Banyak dari angka hotspot tersebut tersebar di Jawa dan Nusa Tenggara. Sementara di Kalimantan Barat mulai mengalami penurunan.

“Riau dan Sumsel juga tidak banyak dan umumnya bukan di lahan gambut,” kata dia.

Terkait gambut, lahan gambut yang terlus berada di Papua, Riau, dan Kalimantan Tengah (Kalteng). Namun kondisi gambut di Papua masih relatif baik lantaran hutan gambut yang sudah terbuka hanya sedikit. Sementara di Kalteng, Riau dan Sumsel sudah banyak hutan gambut yang terbuka. Itu artinya, banyak lahan dalam keadaan harus segera direstorasi.

Kendati demikian, pada karhutla hingga Agustus ini, di Kalteng sangat sedikit lahan gambut yang terbakar, begitu juga di Sumsel. Sebaliknya, lahan gambut terbakar di Kalbar dan Riau diakui Nazir lebih tinggi dari provinsi lainnya sampai pekan lalu.

Karhutla yang terjadi pada 2017 ini terjadi di lahan yang beragam, termasuk lahan masyarakat, perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Untuk perkebunan sawit, Nazir mengaku sempat terkejut mengingat hanya sedikit sekali lahan gambut perkebunan sawit yang terbakar.

“Jadi cukup bagus rekan-rekan dari perkebunan menjalankan program pencegahan kebakaran,” katanya. Sementara angka kebakaran di HTI masih agak tinggi. Bahkan, perusahaan yang terlibat karhutla beberapa merupakan mereka yang pernah pelaku pada karhutla 2015, lalu. “Ini sedang ditindaklnjuti KLHK, kita harap sih ada perbaikan dari perusahaan yang bersangkutan. Nanti harus dilihat memang kasusnya seperti apa,” ujar Nazir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement