REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan data dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sepanjang tahun lalu, ada sebanyak 123 pengaduan konsumen terkait perumahan. Ada tiga hal aduan yang kerap diadukan oleh para konsumen perumahan tapak maupun vertikal.
"Ada tiga masalah aduan, pertama permasalahan pembangunan, masalah pengelolaan, dan masalah transaksinya. Untuk 2016, itu paling banyak aduan terkait rumah susun atau hunian vertikal," jelas Pengurus Harian YLKI Sularsih ketika dihubungi Republika, Selasa (8/8).
Terkait masalah pembangunan, hal-hal yang kerap diadukan contohnya, bangunan tidak sesuai dengan apa yang dipresentasikan, keterlambatan dalam serah terima, dan keterlambatan izin pembangunan perumahan. Menurut Sularsih, karena keterlambatan izin pembangunan itu yang biasanya menyebabkan masalah lainnya.
"Masalah legalitasisasinya belum ada maka pembangunan terlambat dan serah terima juga jadi terlambat. Itu korelasi yang saling terkait," terang Sularsih.
Setelah bangunan jadi dan diserahterimakan, muncul lah permasalahan terkait pengelolaan. Menurut Sularsih, hal yang paling banyak diadukan soal pengelolaan adalah Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL). Iuran tersebut ditarik oleh pihak pengelola.
"Itu biaya yang diminta oleh pihak pengelola. Sekarang, baik itu rumah tapak atau vertikal, kan ada yang namanya IPL yang dikelola oleh badan pengelola. Dulu, kita beli rumah dari pengembang, kemudian diserahkan ke pembeli kan jadi urusan pembeli untuk mengatur lingkungannya," kata dia.
Masalah ketiga adalah masalah yang berkaitan dengan masalah IPL tadi, yaitu sengketa terakit pengurusan P3SRS (Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun). Saat ini, kata Sularsih, banyak hunian vertikal yang belum dibentuk P3SRS-nya. Menurut Sularsih setiap rumah susun harus memiliki P3SRS seperti yang diatur dalam UU No. 20/2011.
"Saat ini, badan pengelola biasanya anak perusahaan dari developer yang membangun. Harusnya, idelanya, badan pengelola itu ditunjuk oleh P3SRS," kata dia.