REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Human Right Watch (HRW) kembali mengungkit persoalan Partai Komunis Indonesia (PKI). HRW menganggap Indonesia tak mau mengungkap kasus pembantain yang terjadi pada 1965-1966.
Phelim Kine, Wakil Direktur HRW Divisi Asia dalam tulisannya di laman HRW.org, kemarin, mengungkapkan, polisi Indonesia dan personel militer memaksa membatalkan acara diskusi terkait kompenasi finansial bagi korban pembantaian pada 1965-166 pekan lalu. Pasukan keamanan, kata ia, menginterogasi dan mengintimidasi panitia pelaksana dengan alasan izin.
"Reaksi keras ini menunjukkan ketabuan yang berlangsung berpuluh-puluh tahun terhadap diskusi mengenai pembantaian itu sebagai upaya pemerintah membebaskan mereka yang bertanggung jawab," tulisnya.
Ini karena pada 1965, pemerintah memberikan kartu hijau kepada pasukan dan milisi lokal untuk membunuh siapa saja yang berbau Komunis. Selama beberapa bulan kemudian, setidaknya 500 ribu orang terbunuh. Jumlahnya, klaim ia, bahkan bisa sampai satu juta. "Korbannya termasuk anggota PKI, etnis Cina, serikat pekerja, guru, aktivis dan artis," ujarnya.
Selama 52 tahun sejak itu, pejabat Indonesia telah menjustifikasi pembunuhan itu sebagai bagian dari perlawanan terhadap Partai Komunis. Pada Oktober 2012, Menko Polhukam Djoko Suyanto, kata ia, pernah merespons dengan temuan Komnas HAM dan menegaskan pembunuhan itu dibenarkan.
Namun bagaimanapun, kata Kine, diskusi tentang insiden PKI semakin berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Apalagi setelah dirilis film The Act of Killing dan The Look of Silence. Pada April 2016, pemerintah pernah mendukung simposium dua hari untuk mendengar korban yang selamat.
Saat itu, Presiden Jokowi bahkan memerintahkan untuk menemukan kuburan massal korban pembantaian. Pada Mei 2016, kata Kine, pemerintah pernah mengatakan akan membentuk tim investigasi dugaan 122 kuburan massal itu. Namun sejak saat itu tidak ada langkah kontrit yang dilakukan pemerintah.