REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memperbaiki permohonan uji materi Perppu 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
"Sesuai dengan saran-saran yang diberikan oleh Panel Hakim pada persidangan yang lalu, kami telah melakukan perubahan-perubahan yang cukup besar terhadap permohonan awal," ujar kuasa hukum HTI Yusril Ihza Mahendra saat membacakan perbaikan permohonan uji materi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin (7/8).
Perbaikan yang pertama adalah perubahan Pemohon dalam perkara uji materi ini, dimana sebelumnya Pemohon adalah HTI kemudian diganti menjadi Ismail Yusanto sebagai perorangan warga negara Indonesia.
Hal ini dilakukan, mengingat Pemerintah telah mencabut status badan hukum HTI, sehingga perkumpulan ini tidak memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon dalam mengajukan uji materi di MK. Adapun Ismail Yusanto adalah juru bicara HTI sewaktu perkumpulan itu belum dibubarkan oleh Pemerintah pada 19 Juli 2017.
"Kami juga memisahkan antara pengujian formil dan pengujian materiil dan itu sudah kami lakukan seperti tercermin di dalam perihal permohonan ini," ujar Yusril.
Dalam perbaikan permohonan ini, Pemohon juga memisahkan petitum pengujian formil dan petitum pengujian materiil. "Rumusan petitum ini secara spesifik, kami menggunakan ketentuan dalam undang-undang," pungkas Yusril.
Dalam sidang pendahuluan Yusril selaku kuasa hukum Pemohon meminta kepada MK untuk membatalkan seluruh Perppu Nomor 2 Tahun 2017, atau setidaknya beberapa pasal yang terdapat di dalamnya yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Lebih lanjut Yusril mengatakan adanya rumusan di dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang dinilai tidak jelas terutama terkait dengan pembubaran ormas yang menganut atau menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Sementara itu Pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 karena menilai Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 sudah tidak lagi memadai dalam mencegah meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Alasan dikeluarkannya Perppu tersebut juga karena tidak adanya asas hukum "contrario actus" dalam UU Ormas, yang mana kementerian pemberi izin ormas (Kemenkumham), kemudian juga memiliki kewenangan untuk mencabut atau membatalkannya.
Selain itu, dalam UU Ormas pengertian ajaran dan tindakan bertentangan Pancasila dirumuskan secara sempit dan terbatas pada atheisme, komunisme, marxisme dan Leninisme. Padahal sejarah di Indonesia membuktikan ajaran-ajaran lain juga bisa menggantikan atau bertentangan dengan Pancasila.