REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institut Pertanian Bogor (IPB) menghadirkan teknologi untuk pengendapan garam secara cepat. Inovasi dari IPB ini mampu menghasilkan garam dengan kandungan NaCI 99,78 persen, sehingga berada diatas persyaratan untuk garam kualitas nomor satu yang harus mempunyai kandungan NaCI 98 persen dengan kadar air maksimal 4 persen.
Teknologi tersebut adalah teknologi multistage precipitation. Tahun ini akan mulai diuji coba skala tambak, kerjasama antara IPB dengan Universitas Trunojoyo yang ditunjuk Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) RI sebagai pusat unggulan Iptek garam.
Peneliti garam dari Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB, Dr. Muhamad Khotib, menyampaikan karakteristik garam rakyat yang dihasilkan petani memiliki kadar NaCl 85-97 persen (dry basis), sehingga sangat tidak memenuhi standar.
"Umumnya garam petani di bawah standar, sehingga tidak diterima untuk industri. Pada dasarnya untuk garam konsumsi standard tersebut tidak masalah asalkan tidak mengandung logam berat," ujarnya.
Khotib menyampaikan kelangkaan garam di Indonesia saat ini karena terkendala cuaca yang tidak mendukung, ditambah tidak ada stok dari petani, karena petani belum siap panen. Ia melanjutkan, dalam memproduksi garam sangat mengandalkan suhu, panas matahari dan angin.
Indonesia banyak mengimpor garam dari Australia. Namun, karena berbeda suhu dan cuaca dengan Indonesia, dimana Australia lebih dingin, sehingga proses pengkristalan garam akan lebih cepat, sehingga produksi garam pun akan lebih cepat.
Dengan inovasi yang dibawanya, Muhamad Khotib mengatakan, garam ketika cuaca buruk bisa disimpan di Rumah Kristalisasi yang dapat membantu mengatasi persoalan garam dan teknologi simple. Ditambahkannya, pemerintah harus lebih fokus dalam mengatasi persoalan garam dalam hal memenuhi kualitas dan kuantitas.
Hal senada disampaikan Wakil Rektor bidang Sumberdaya dan Kajian Strategis IPB, Prof. Dr. Hermanto Siregar. Ia menyampaikan garam merupakan persoalan strategis, meskipun nilai pengeluarannya lebih murah dibanding dengan kebutuhan pokok lainnya.
"Sisi lain garam merupakan kebutuhan pokok yang luar biasa yang tidak bisa ditunda," katanya.
Menurutnya, dalam jangka panjang dan menengah, pemerintah harus serius terhadap persoalan ini. Prof. Hermanto berharap dengan teknologi ini suatu saat Indonesia bisa ekspor. Selain itu teknologi ini bisa diadopsi oleh koperasi dan swasta.