REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Hoax atau berita bohong yang kini banyak menyebar ternyata bukan hal baru. “Istilah hoax muncul pada akhir abad ke-18, kependekan dari kata hocus, yang berarti menipu (to cheat). Istilah itu dipopulerkan oleh seorang filsuf Inggris Robert Nares,” kata Dosen Unpar Bandung Cecilia E Nugraheni saat mengisi Seminar Nasional IT, Ethics, Regulation and Cyber Law di Hotel Asrilia, Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/7).
Seminar yang diadakan PPPM Universitas BSI Bandung bekerja sama dengan PPPM AMIK BSI Bandung dan Polda Jawa Barat itu mengusung tema ‘Implementasi UU ITE Untuk Mencegah Hoax di Media Sosial Dalam Mewujudkan Keadilan dan Ketertiban Umum’.
Cecilia bersama empat pembicara lainnya, yakni Atalia Praratya SIP (istri Wali Kota Bandung), Dr Dwiza Riana MM, MKom (Universitas BSI), Dr Nina Kurnia Hikmawati (Telkom University), serta Herni Herman (pengusaha transportasi dan politisi) mengupas topik “Hoax, Teknologi, dan Perempuan’.
Cecilia juga mengutip Linda Walsh, seorang profesor dari University of Nevada, Amerika Serikat. Ia menyatakan, “Hoax atau kabar bohong, merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang masuk sejak era industri. Diperkirakan pertama kali muncul pada 1808.”
Di era modern, kata Cecilia, istilah hoax mulai dikenal luas sejak Alex Boese berkreasi membangun The Museum o f Hoaxes di San Diego, Californi, pada tahun 1997, sebagai sumber untuk melaporkan dan mendiskusikan hoax dan legenda perkotaan, masa lalu dan masa yang akan datang.
Dalam kesempatan yang sama, Nina Kurnia Hikmawati menegaskan, hoax atau pemberitaan palsu adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca / pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. “Penyebaran berita hoax mudah menyebar melalui internet. Jalurnya bisa berupa situs online, media sosial, hingga chatting di aplikasi pesan instan. Berita hoax banyak menimbukan dampak negatif,” kata Nina.
Nina juga mengingatkan, pelaku penyebar hoax bisa terancam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE. “Dalam agama Islam hoax sudah jelas dilarang, dan di dalam Alquran telah jelas diterangkan bahwa berita bohong atau hoax adalah modal orang-orang munafik untuk merealisasikan niat kotor mereka,” ujar Nina.
Atalia Praratya dalam kesempatan itu berbagi pengalaman mengenai hoax yang menimpa dirinya dan suaminya (Walikota Bandung Ridwan Kamil). "Di masa kini, yang sulit bukan memilih berita, tetapi memilah berita," kata Atalia Praratya.
Dwiza Riana mengatakan, karena hoax bisa berdampak negatif, dan ada sanksi hukum maupun agama, maka masyarakat harus bisa menyikapi berita atau informasi dengan baik dan bijak. Hal itu terutama agar masyarakat terhindar dari menyebarkan berita-berita hoax maupun termakan informasi bohong.
“Tidak melek terhadap informasi yang dibawa media menimbulkan berbagai permasalahan. Masyarakat perlu mengetahui cara menyikapi sebuah informasi yang datang menerpa melalui media baru, sehingga masyarakat tidak terombang-ambing oleh banjir informasi yang terjadi saat ini,” kata Dwiza.
Dwiza juga mengingatkan, penting bagi masyarakat memiliki kemampuan literasi media, yaitu pendidikan yang mengajari khalayak media agar memiliki kemampuan menganalisis pesan media, memahami bahwa media memiliki tujuan komersial/bisnis dan politik sehingga mereka mampu bertanggungjawab dan memberikan respons yang benar ketika berhadapan dengan media.
Pada akhir acara diskusi, semua pembicara sepakat untuk memerangi hoax perlu saring dulu sebelum sharing (mendistribusikan) konten yang masuk. Saring dulu informasi sebelum sharing kepada orang lain. Berpikirlah terlebih dahulu sebelum membagikan suatu informasi. Apalagi, hal yang harus diingat, saat ini ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Orang yang menyebarkan konten yang melanggar Undang-undang ITE bisa diproses hukum.