Kamis 03 Aug 2017 05:07 WIB

Pascadibukanya Al-Aqsha dan Skenario Balas Dendam Israel

Ratusan massa melakukan aksi solidaritas untuk Masjid Al Aqsa di depan Kedutaan Besar Palestina, Jakarta, Jumat (2/10).  (Republika/Yasin Habibi)
Ratusan massa melakukan aksi solidaritas untuk Masjid Al Aqsa di depan Kedutaan Besar Palestina, Jakarta, Jumat (2/10). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Syarief *)

Peristiwa penutupan al-Aqsha menjadi bukti bahwa peta perlawanan di Palestina telah berubah. Selama ini, perjuangan lebih dikenal secara militer melalui faksi-faksi perlawanan yang ada. Namun, aksi tiga pemuda Palestina pada pertengah Juli lalu telah memberi pesan, ternyata tanpa dukungan militer pun, rakyat Palestina bisa menggentarkan Israel.

Perlawanan tiga pemuda ini menjadi fenomenal, karena baru pertama kalinya dalam sejarah, kontak senjata antara pemuda Palestina dengan polisi Israel terjadi di pelataran al-Aqsha, terhitung sejak awal kali masjid itu diduduki Israel pada tahun 1967. Walaupun perlawanan individu bukan menjadi hal baru bagi rakyat Palestina, namun keberhasilan tiga pemuda Palestina melumpuhkan tiga polisi Israel dan gugurnya mereka di pelataran al-Aqsha, menjadikan peristiwa ini heroik, sehingga layak diabadikan dalam sejarah perlawanan Palestina.

Memang, penistaan yang dilakukan Zionis Israel terhadap Masjidil Aqsha sudah menembus batas kesabaran. Berulang kali pemukim ilegal Yahudi dengan mendapatkan penjagaan polisi Israel, menistai Al-Aqsha, mereka bebas masuk ke masjid dan melakukan ritual Talmud di dalamnya. Sehingga meletuslah perlawanan rakyat secara individu, yang pada periode ini dikenal dengan sebutan Intifadhah al-Quds, di antara contohnya adalah peristiwa 14 Juli lalu.

Uniknya, perlawanan seperti ini tidak bisa diditeksi oleh Israel. Karena pergerakannya bersifat individu, tanpa komando dan melawan dengan apa yang mereka punya. Konsekuensinya, mereka sudah siap mengorbankan nyawa. Dampaknya, kecemasan menghantui Israel. Sehingga orang-orang Israel paranoid terhadap orang-orang Palestina yang ada di sekitar mereka.

Kemenangan rakyat Palestina

Dunia Islam sudah selayaknya berterimakasih kepada umat Islam di Palestina, khususnya yang berada di al-Quds, merekalah yang selama ini berada di garda terdepan mempertahankan Masjidil Aqsha dari penistaan yang dilakukan Israel. Termasuk dalam peristiwa penutupan al-Aqsha kemarin, Muslim Palestina bertahan di depan gerbang al-Aqsha, hal ini berlangsung selama dua pekan, dunia menangkap kondisi ini sebagai sinyal adanya sebuah pelanggaran HAM, karena melarang orang masuk ke dalam rumah ibadah. Sampai akhirnya Zionis Israel mencabut semua alat-alat elektronik yang digunakan untuk mengawasi jamaah al-Aqsha, mulai dari kamera hingga detektor logam.

Secara umum capaian ini adalah kemenangan rakyat Palestina dan umat Islam. Semula, Israel ingin memanfaatkan momen krusial ini untuk merealisasikan pembagian Masjidil Aqsa berdasarkan waktu dan tempat, antara muslim dan Yahudi, termasuk memasang kamera pengawas di sudut-sudut masjid. Ini adalah bagian dari proyek yahudisasi mereka. Namun rencana itu gagal, dikarenakan kuatnya tekanan yang dilakukan rakyat Palestina dan sorotan dunia Islam terhadap penutupan tersebut.

Jamal Amru, seorang penulis asal kota al-Quds yang merupakan pakar sejarah Israel menyimpulkan, dengan dibukanya al-Aqsa, maka itu pertanda baik bagi masa depan Palestina. Menurutnya, ini bukti penjajah Israel bisa takluk di bawah kehendak warga al-Quds, yang hampir dua pekan menuntut penjajah Israel menarik kebijakan barunya terhadap al-Aqsa, kembali ke fase sebelum terjadinya peristiwa 14 Juli 2017.

"Kemenangan ini milik rakyat al-Quds, mereka sukses menjatuhkan mental pemerintah dan tentara Zionis Israel. Kedepan, Israel akan berfikir ribuan kali untuk kembali mengganggu al-Quds dan tempat-tempat suci di dalamnya," jelas Amru seperti dikutip laman situs Alresalah, Senin (31/7/2017).

Skenario balas dendam

Di internal Israel, keputusan pembukaan tersebut telah mencoreng muka PM. Israel Benjamin Netanyahu. Lawan politiknya menilai pembukaan Al-Aqsha sebagai bentuk kegagalan dan lemahnya rezim saat ini. Orang-orang Israel merasa dihinakan dengan keputusan tersebut. Sebagai balasannya, drama penangkapan dilakukan secara besar-besaran oleh pihak militer. Seperti yang terjadi di malam hari pertama paska Al-Aqsha dibuka, Kamis (27/7/2017), 120 orang jama’ah iktikaf ditangkap polisi Israel. Hingga hari Senin (31/7/2017) kemarin, penangkapan masih berlanjut, kali ini terhadap 42 orang warga Tepi Barat dengan tuduhan terlibat dalam demonstrasi di Al-Aqsha.

  

Permasalahan lainnya, selama 3 hari Al-Aqsha ditutup dibawah kuasa aparat Israel, kini baru disadari banyak dokumen di kantor administrasi al-Aqsa yang dicuri. Dokumen itu terkait surat wakaf dan surat kepemilikan tanah di kota al-Quds. Saat ini pihak masjid sedang mendata apa saja perubahan yang terjadi dan berkas apa yang hilang di dalam al-Aqsa selama tiga hari itu.

Dengan kembalinya kondisi seperti sebelum 14 Juli 2017, berarti polisi Israel kembali ke posnya di luar komplek al-Aqsa. Mereka tetap melakukan pemeriksaan secara manual kepada jama’ah yang masuk, membangun tembok rasis, merobohkan rumah warga dan menggantinya dengan permukiman ilegal Yahudi.

Kota terjajah Al-Quds

Kota al-Quds, pertama kali diduduki Zionis Israel tahun 1948. Saat itu hanya menguasai bagian barat, dan yahudisasi dilakukan secara sempurna disana. Baru kemudian pada tahun 1967, al-Quds Timur juga dicaplok oleh Israel. Sejak saat itu yang tersisa dari Palestina tinggal Tepi Barat dan Jalur Gaza, bahkan hingga sekarang. Yahudisasi dilakukan dengan cara mengirim 200.000 pemukim ilegal Yahudi ke al-Quds Timur, dan mendirikan 30 distrik Yahudi sebagai tempat tinggal mereka.

Masjidil Aqsa sendiri berada di al-Quds bagian timur, tepatnya di dalam Kota Tua (Old City). Upaya lainnya yang dilakukan Israel dalam proyek yahudisasi al-Quds adalah membangun tembok rasis, mencabut status kependudukan lebih dari 15 ribu warga al-Quds, dan melarang mereka berdomisili di kota itu. Lebih dari 20 ribu rumah warga dirobohkan dengan alasan tidak mendapat izin Israel.

Israel juga membuat puluhan terowongan di bawah tanah Masjidil Aqsa, sehingga tinggal menunggu waktu saja, bangunan masjid itu akan roboh dengan sendirinya. Berbagai lembaga-lembaga Yahudi difokuskan untuk merealisasiskan proyek yahudisasi tersebut, setiap tahunnya mereka menyumbang 150 juta dollar Amerika. Sedangkan otoritas Israel menyiapakan dana 1 milliar dollar Amerika untuk proyek ini.

Melihat agenda mereka, bisa disimpulkan penutupan al-Aqsa selama dua pekan itu hanyalah bagian dari agenda kecil Israel. Tidak menutup kemungkinan, hal serupa akan kembali terjadi, mengingat misi besar mereka adalah merobohkan al-Aqsa dan menggantinya dengan Kuil Sulaiman.

Warga al-Quds dan sekitarnya tentu masih menjaga ritme perjuang mereka, demi mendapatkan hak mereka beribadah di al-Aqsa dan hidup merdeka. Seyogyanya kita pun yang secara fisik jauh dari mereka, turut menjaga ritme perjuangan, hingga Masjidil Aqsa terbebaskan dan Palestina mencapai kemerdekaannya.

*) Ketua Kajian Asia Pacific Community for Palestine

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement