REPUBLIKA.CO.ID, SEKO -- Lembaga adat dan pemerintah perlu bersinergi dalam rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Sejauh ini sosialisasi informasi terhadap rencana pembangunan PLTA masih menjadi kendala utama.
Hal tersebut diakui oleh sejumlah tokoh adat dan pemerintah desa di wilayah Seko Tengah. Wilayah ini merupakan lokasi terdampak yang akan dijadikan tempat pembangunan turbin serta bendungan PLTA di Seko.
Matandena, tokoh adat dari Pohoneang, mengaku hingga kini dia masih mempertanyakan kabar perihal pembangunan terowongan di bawah desanya. "Inilah yang membuat kita takut karena akan ada sungai di bawah desa kami," katanya ketika dijumpai Republika.co.id di lokasi belum lama ini.
Matandena menyadari peran lembaga adat sangat besar dalam upaya menjembatani adanya pro dan kontra terhadap pembangunan PLTA. Sejauh ini, kata dia, pihak lembaga adat masih terus meminta kejujuran dan keterbukaan informasi dari pihak PLTA.
Hal yang sama disampaikan juga oleh R Kondolada, tokoh adat Ambalong di Desa Embonatana. Ia mengatakan sejauh ini rumor seputar relokasi warga masih terus menghantui warga. Isu relokasi ini muncul karena wilayah persawahan di Embonatana akan dijadikan bendungan. "Mau di relokasi kemana? Sedangkan kami ada di puncak gunung. Kalau kami mau di pindah, gunung mana lagi yang harus kami tempati," ujarnya.
Kepala Desa Tanamakaleang, Topel, menjelaskan sejauh ini rencana pembangunan PLTA baru sampai tahap survei lokasi. Sayangnya saat ini di wilayahnya sudah muncul penolakan. Penolakan lainnya terjadi juga di Desa Hoyyane.
Menurut Topel, penolakan tersebut terjadi karena adanya gap informasi yang di terima masyarakat desa. Adanya gap informasi itulah yang kemudian memunculkan sejumlah isu semacam relokasi pemukiman warga, pembangunan terowongan di bawah desa serta penenggalaman desa. "Inilah isu yang dikembangkan oleh pihak-pihak yang kontra, mungkin ini pengaruh dari (pihak) luar," katanya.
Ami Sandi, salah satu warga Seko yang kini mendekam di dalam tahanan, menyatakan pihaknya menolak karena ingin mempertahankan wilayah adat supaya tetap terjaga. Ia meragukan keberpihakan PLTA akan mampu memperbaiki kehidupan warga Seko yang sampai kini masih terisolir akibat akses transportasi yang sangat buruk. "Bagaimana mungkin karena PLTA di Seko ini kan investasi PMA (penanaman modal asing)," ujar mantan anggota TNI ini ketika dijumpai Republika.co.id di dalam tahanan.
Ia juga mengatakan warga Seko keberatan jika di relokasi. Jika ada pihak perwakilan adat yang menerima, kata dia, sebaiknya pembangunan PLTA tersebut dilakukan di luar wilayah Tanamakaleang. "Silakan saja di Seko Lemo, bukan di wilayah kami," kata Ami yang berasal dari kampung Pokappaang, Tanamakaleang, ini menegaskan.
Kecamatan Seko, merupakan wilayah di Kabupaten Luwu Utara yang cukup terisolir. Akses warga untuk keluar masuk hanya dimungkinkan menggunakan ojek motor atau kuda. Jika kondisi cuaca cerah, waktu tempuh membutuhkan beberapa jam, namun jika sedang hujan untuk masuk ke Seko bisa memakan waktu dua hingga tiga hari karena jalanan yang sangat becek dan berkubang lumpur.