REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Dewasa ini terjadi banyak penyalahgunaan media sosial. Contohnya berita bohong (hoax), berita palsu (fake news), penyebaran kebencian (hate speech) dan pencemaran nama baik. "Penyebarluasan berita hoax belakangan semakin marak," kata pakar praktisi IT internasional di bidang hacking & IT Forensic Dr Mochamad Wahyudi MM., MKom, MPd, CEF, CHFI pada Seminar Nasional IT, Ethics, Regulation and Cyber Law di Hotel Asrilia, Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/7).
Seminar yang diadakan oleh PPPM Universitas Bina Sarana Informatika (BSI) Bandung, PPPM AMIK BSI Bandung dan Polda Jawa Barat itu mengusung tema ‘Implementasi UU ITE Untuk Mencegah Hoax di Media Sosial Dalam Mewujudkan Keadilan dan Ketertiban Umum’.Seminar yang diawali dengan keynote speech Koordinator Kopertis Wilayah IV Jawa Barat dan Banten Prof Uman Suherman A.S, MPd itu terbagi dua sesi.
Sesi pertama menampilkan nara sumber Mochamad Wahyudi dan Kepala Unit Cyber Polda Jawa Barat Kompol Rudi Trihandoyo. Sedangkan sesi kedua menampilkan nara sumber lima pakar IT dan tokoh, semuanya perempuan. Mereka adalah Atalia Praratya SIP (istri Walikota Bandung), Dr Dwiza Riana MM, MKom (Universitas BSI), Dr Nina KH (Telkom University), Dr Cecilia (Universitas Parahyangan Bandung), serta Herni Herman (pengusaha transportasi dan politisi).
Wahyudi menambahkan, mengutip data Karopenum Divisi Humas Mabes Polri Tahun 2016 jumlah laporan terkait penyebaran informasi di media sosial ± 2.700 laporan. "Sebagian besar di antaranya penyebaran berita bohong (hoax) dan baru sekitar 40 persen yang ditangani," kata Wahyudi yang juga ketua APTIKOM Wilayah III.
Tanggung jawab siapakah hoax di media sosial itu? Menurut Wahyudi, di Indonesia, berita hoax di media sosial menjadi urusan pemerintah dan penegak hukum. "Sedangkan di Amerika Serikat dan Uni Eropa, saat ini ada wacana regulasi yang menuntut perusahaan penyedia atas penyebarluasan berita (hoax). Bahkan di Jerman, orang atau lembaga yang menyebarkan berita hoax didenda 500.000 euro atau sekitar Rp 7 miliar untuk berita hoax yang tidak dihapus dalam waktu 1X24 jam," kata Wahyudi.
Wahyudi menambahkan, berdasarkan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, Pasal 40 Ayat 2a, Pemerintah wajib melakukan pencegahan hoax. Yakni, penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik (IE) dan/atau DE yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Pemerintah menganggap butuh satu lembaga yang bisa memayungi seluruh kegiatan siber secara nasional unt menekan maraknya penyebaran berita hoax, meningkatkan pertahanan keamanan & menertibkan perdagangan elektronik. Itulah yang melatarbelakangi lahirnya Badan Cyber & Sandi Negara (Perpres No. 53 Tahun 2017 tentang Badan Siber & Sandi Negara tanggal 27 Mei 2017)," kata Wahyudi.