REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah kembali mendesak Presiden Joko Widodo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengungkap kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Tim ini harus berisi pihak yang independen dan kredibel.
"Kami tidak kaget kalau kepolisian menolak dibentuknya TGPF, maka kami meminta kepada Presiden untuk membentuknya," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak melalui siaran pers yang diterima Republika, Sabtu (29/7).
Ia menjelaskan TGPF kasus Novel harus berisi para pihak yang independen dan kridibel, yang langsung dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. "Kenapa Presiden? Karena secara langsung kepolisian di bawah Presiden," kata Dahnil.
Dahnil menjelaskan pilihan membentuk TGPF ini karena kurang percaya pihak kepolisian mau mengungkap kasus ini, apalagi kalau terkait dengan dugaan internal kepolisian terlibat. Ia menambahkan, ada dugaan keterlibatan perwira kepolisian dalam kasus penyiraman Air keras terhadap Novel.
Dugaan itu merupakan hasil kesimpulan dari penelusuran fakta yang dilakukan oleh Pemuda Muhammadiyah, Kontras, LBH Jakarta, dan lembaga lainnya. "Dugaan itu tentu harus dibuktikan melalui proses hukum yang adil dan jujur," kata Dahnil.
Dahnil menerangkan pada awalnya, Novel dan Pemuda Muhammadiyah berkeyakinan polisi akan mampu dengan cepat dan mudah mengungkap pelaku penyiraman air keras. Keyakinan ini merujuk kehebatan kepolisian dengan cepat mengungkap kasus-kasus rumit seperti terorisme di beberapa tempat di Indonesia.
Dengan kapasitas yang luar biasa, dia menyatakan, agak ganjil kalau kepolisian belum bisa mengungkap pelaku sekaligus aktor penyiraman tersebut hingga 108 hari sejak kejadian. "Apalagi banyak statement petinggi Polri, bahkan Kapolri (Jenderal Tito Karnavian) sendiri yang menyatakan kasus ini sulit diungkap," kata dia.
Padahal, menurut Dahnil, sebagai penyidik Novel sangat memahami kasus yang sulit dan teknis penyidikan. Kecuali, ia menyatakan, kasus itu dinyatakan sulit diungkap karena diduga terkait dengan mereka yang sangat berpengaruh, berkuasa, atau pemilik senjata.
Apalagi, Dahnil menerangkan, sebelum penyerangan terhadap Novel memang sudah banyak operasi intelijen mengawasi Novel dan penyidik lainnya. Bahkan, salah satu petinggi Polri menyatakan mengirim tim mengamankan Novel Baswedan. "Seperti disampaikan kepada Novel sebelum peristiwa penyiraman, yang kemudian digantikan oleh tim lainnya," kata dia.
Artinya, Dahnil menambahkan, intelijen kepolisian bekerja dengan baik saat itu. "Jadi, agak 'ganjil' kalau kemudian teror penyiraman air keras subuh 11 April 2017 terhadap Novel tersebut terlewatkan dari pengawasan intelijen kepolisian," kata dia.
Belum lagi, ia menambahkan, ada keganjilan-keganjilan dalam proses penyidikan. Misalnya, dia mencontohkan, sidik jari di gelas yang hilang, dengan pernyataan yang berubah-ubah dari pihak kepolisian terkait itu. Tiga saksi kunci yang merupakan 'mata elang' yang kemudian dibebaskan karena dinyatakan memiliki alibi yang kuat.
Di sisi lain, Dahnil menyatakan, Pemuda Muhammadiyah menemukan bahwa ada 'konflik' di dalam KPK terkait banyak hal. "Salah satunya, upaya menghilangkan barang bukti terkait kasus tertentu yang bisa menjerat orang berpengaruh dan berpangkat tinggi, yang bisa jadi diduga ada kaitannya dengan teror penyiraman air keras terhadap Novel," ujar dia.