Jumat 28 Jul 2017 07:45 WIB

Jimly: Penetapan Fatwa MUI Seharusnya Melalui Perdebatan

Jimly Asshiddiqie
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Jimly Asshiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Jimly Asshiddiqie mengungkapkan dalam penetapan Fatwa MUI seharusnya melalui dengan perdebatan. "Melalui perdebatan akan berdampak pada hasil fatwa yang lebih bisa dipertanggungjawabkan dan optimal," katanya disela-sela acara Islamic Conference on Fatwa Studies dalam rangka Milad MUI ke-42 di Depok, Kamis (27/7).

Dikatakannya Fatwa Ulama memiliki peran yang vital dalam konteks beragama, kemasyarakatan dan kenegaraan. Untuk itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai kumpulan Ulama yang mengeluarkan fatwa memiliki peran yang strategis dalam membangun bangsa dan negara.

Menurut dia, kita harus meniru seperti yang dilakukan oleh para Ulama di NU dengan bahsul Masail. Para Kiai menenteng kitab kuning dan berdebat dan adu argumen. Hal serupa juga di Majelis Tarjih Muhammadiyah.

Ia mengatakan agar dalam fatwa yang dikeluarkan MUI dibuat mekanisme agar hasilnya bisa mengikat dan bisa menjadi pegangan bagi negara. Untuk itu perlu ada mekanisme perdebatan dimulai dari MUI tingkat kabupaten, provinsi dan pusat. Sehingga Fatwa akan menjadi ikon, sumber referensi dam fatwa nasional.

"Jadi tidak ada seorang yang nyeleneh mengeluarkan fatwa. Sebab semua sudah mengetahui fatwa yang telah dikeluarkan MUI," katanya.

Untuk itu, dirinya menyarankan agar disusun mekanisme ulang dalam proses mengeluarkan fatwa. Dalam proses pengadilan adanya tingkatan dan sama halnya dengan fatwa. "Kita sarankan agar komisi fatwa MUI menyusun mekanisme ulang diharapkan bisa setiap tahun bisa dalam memproses fatwa. Ke depan fatwa akan menempati posisi penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara," katanya berharap.

Untuk itu, katanya, coba dibuat mekanisme sehingga sekali fatwa itu ditetapkan itu betul-betul mengikat secara nasional meskipun mengikatnya secara moral. Tapi bagi orang yang akan mengikutinya sudah punya pegangan.

Sehingga, katanya, kita tak harus mendengarkan pendapat satu orang atau pendapat satu organisasi kita dengarkan saja pendapat dari seluruh ulama tapi harus dipastikan pendapat yang sudah diputuskan fatwa majelis ulama betul-betul sudah mendengar semua pihak.

"Jadi intinya mekanisme penetapan fatwa ini harus disusun ulang," katanya.

Menurut dia, Fatwa Majelis Ulama itu akan semakin penting dan menjadi ikon dan sekaligus juga bisa mempersatukan sumber referensi umat Islam tentang sikap yang harus dilakukan terhadap semua persoalan di luar sistem aturan bernegara yang sudah ada.

Sementara itu Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Ni'am Sholeh mengatakan anggota komisi fatwa heterogen baik itu latar belakang pendidikan, organisasi, pondok pesantren sehingga semangat untuk berdebat sangat tinggi.

Ia mengatakan Fatwa MUI bersifat kelembagaan harus ada putusan seluruh anggota fatwa, karena dalam fatwa tidak dikenal voting," jelasnya. Dikatakannya fatwa dikeluarkan karena ada permintaan dan pertanyaan dari masyarakat tentang suatu permasalahan yang ada. Fatwa MUI, katanya, mengeluarkan fatwa bersifat rensponsif, proaktif dan antisipatif.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement