REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengimbau Pansus Hak Angket DPR terkait Tugas dan Wewenang KPK menghormati proses peradilan yang sedang berjalan maupun yang sudah diputus pengadilan terkait kasus proyek pengadaan KTP-elektronik (KTP-El).
"Kami imbau semua pihak termasuk Pansus untuk menghormati proses peradilan yang sedang berjalan dan bahkan sudah ada putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan ada kerugian negara dalam kasus KTP-e," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Kamis (27/7) malam.
Febri pun menegaskan jika Pansus menyebutkan kerugian negara terkait proyek pengadaan KTP elektronik sebesar Rp 2,3 triliun itu hanya perhitungan KPK. Oleh karena itu, jangan sampai kemudian dilakukan pelecehan terhadap institusi kekuasaan kehakiman atau peradilan.
"Yang bahkan sudah memutus dan mengatakan ada kerugian keuangan negara yang sebelumnya dihitung oleh BPKP. Jadi sebaiknya para wakil rakyat dan semua pihak kami imbau untuk menghormati peradilan dan tidak melecehkan proses peradilan itu," kata Febri.
Oleh karena itu, kata dia, segala tindakan-tindakan lain yang mencoba mengintervensi, melakukan proses investigasi atau proses-proses lain baik yang sudah diputus pengadilan, sedang berjalan di penegak hukum atau pun yang masih berjalan di penyelidikan sebaiknya itu dipertimbangkan baik-baik.
"Karena ada risiko dalam batas-batas tertentu, itu bisa menjadi bentuk upaya untuk menghalangi pemberantasan korupsi, khususnya penanganan kasus KTP-e yang sedang berjalan saat ini," ucap Febri.
Dalam kasus KTP-el itu, tiga orang masih berstatus sebagai tersangka, yaitu Ketua DPR RI Setya Novanto, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Markus Nari, dan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong. Setya Novanto disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Kemudian Markus Nari disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain itu dalam kasus KTP-e, Markus Nari juga disangka melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa dalam perkara korupsi dapat dipidana maksimal 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.
Sedangkan Andi Narogong disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Sementara satu orang lagi, yaitu anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani sudah menjalani persidangan di pengadilan. Miryam didakwa memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan KTP-e dan sudah dalam proses persidangan dengan pembacaan dakwaan pada 13 Juli 2017.
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta pada Kamis (20/7) juga telah menjatuhkan hukuman penjara tujuh tahun kepada mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan lima tahun penjara kepada mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto dalam perkara korupsi proyek pengadaan KTP elektronik.