REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tujuan perkawinan adalah mencapai ketentraman lahir dan bathin. Dalam dimensi spiritual (agama) perkawinan adalah menjalankan kebaikan/perintah (sunnah) Rosulullah, akan menjamin terpeliharanya kehormatan jiwa (iffah) dan menjaga keberlangsungan keturunan (nasab).
Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Ermarini mengatakan tujuan mulia perkawinan tidak boleh dilatarbelakangi oleh hadirnya tradisi-tradisi yang harus melanggengkan pemaksaan mengawinkan anak perempuan dan laki-laki dalam usia anak, dibebani untuk menyelamatkan nama baik keluarga atau menutupi aib, serta bukan semata kebutuhan mendesak menghalalkan melepas hasrat biologis.
"Terutama anak perempuan kerap menerima perlakuan tidak adil dengan dipaksa harus kawin untuk kepentingan orang-orang dewasa sehingga abai dan melanggar hak-haknya untuk tumbuh kembang, memiliki pendidikan dan punya akses mencapai kesejahteraan seperti bekerja dan beraktualisasi di masyarakat," kata Anggia dalam keterangan persnya kepada Republika.co.id, Senin (24/7).
Faktanya berdasarkan data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, terungkap angka perkawinan anak di Indonesia peringkat kedua teratas di kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030.
Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Angka 16 tahun dalam usia perkawinan perempuan berpotensi melanggar/tidak sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan UU 23 Tahun 2002 dan hasil revisi UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Segala pelanggaran konstutusi menuju pada pelegalan pernikahan di bawah usia yang berdampak pada munculnya diskriminasi pendidikan dan kemiskinan yang berkelanjutan.
"Upaya revisi yang dilakukan masyarakat sipil di tingkat MK tentang UU Perkawinan yang belum terkabulkan menimbulkan masalah secara terus menerus, sebab masyarakat Indonesia membutuhkan payung hukum yang mengikat untuk mengakhiri ancaman generasi yang dieksploitasi oleh dalih suci perkawinan," kata Anggia.
Oleh sebab itu, lanjutnya, titik tolak pendekatan budaya dan norma sosial termasuk transformasi agama merupakan langkah organisasi masyarakat dan berbagai elemen bangsa dalam mendesak pemerintah dan pihak berwenang dalam mewujudkan perubahan batas minimum usia perkawinan.
Melalui Hari Anak Nasional (HAN) tahun ini Fatayat NU merekomendasikan di antaranya mendesak pemerintah sebagai eksekutor untuk membuat langkah nyata dalam memutus perkawinan anak melalui komitmen pihak-pihak terkait untuk melakukan disiplin penyelenggara perkawinan sebagai upaya nyata menyikapi tuntutan peningkatan batas usia perkawinan
Menyerukan kepada legislative agar menjadi pioneer bagi perubahan UU Perkawinan terkait peningkatan batas usia perkawinan anak agar lebih banyak mendapat partisipasi dari publik. Mengajak masyarakat sipil dan seluruh elemen bangsa untuk berupaya kembali merevitalisasi gerakan revisi UU perkawinan menuju pendewasaan usia perkawinan sebagai jalan tengah dalam kuatnya perbedaan pandangan tentang perkawinan usia anak.
Anggia menegaskan Hari Anak Nasional 2017 hendaknya menjadi momentum bagi perlindungan anak-anak Indonesia dari tindak kesewenang-wenangan berbagai pihak yang berdampak pada kekerasan anak yang diakibatkan oleh kuatnya memposisikan anak sebagai kelompok kecil tidak berdaya yang dijadikan alat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang bukan tanggungjawabnya. "Mari cegah perkawinan anak, optimalkan perlindungan dan pengasuhan anak, kembalikan tujuan perkawinan dalam membangun keluarga maslahah (bahagia) dalam mewujudkan generasi sehat, unggul dan berkualitas," katanya.