Selasa 18 Jul 2017 04:39 WIB

Membangun Kota Masa Depan

Seorang petani sayuran menyiapkan lahan untuk ditaburi pupuk organik (ilustrasi)
Foto: Republika/Edi Yusuf
Seorang petani sayuran menyiapkan lahan untuk ditaburi pupuk organik (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fithra Faisal Hastiadi *)

 Apakah Anda pernah mendengar kisah perjalanan Gulliver? Dalam salah satu kisahnya, Gulliver dipertemukan dengan negeri liliput. Di negeri tersebut, perbedaan Gulliver dan rakyat negeri liliput terlihat sangat nyata, Gulliver besar mengangkasa sementara penduduk negeri tersebut mini menjengkal bumi. Tentu saja, dalam dunia nyata, kita tidak akan pernah menemukan dunia Gulliver. Namun, dalam konteks ketimpangan bisa saja kota-kota di masa depan akan berjalan tak ubahnya seperti dunia khayalan tersebut dimana yang miskin dan kaya bisa terlihat begitu nyata.

Dunia Gulliver bisa saja terjadi di kota-kota masa depan jika fragmentasi kebijakan menjadi sangat tegas memihak kepada yang berpunya, tentu ini merupakan situasi yang sangat tidak ideal. Kota masa depan dibentuk dengan perencanaan yang matang dan adil. Tidak memihak, tetapi melebur dengan kebutuhan masyarakat kebanyakan.

Jika merujuk pada data dari World Urbanization Prospects, saat ini, 54 persen dari populasi dunia berada di kota dan diproyeksikan pada tahun 2050 nanti, proporsinya akan mencapai 70 persen. Secara khusus, pertumbuhan populasi kota terbesar 90 persennya bersumber dari negara-negara di Asia dan Afrika. Saat ini, 70 persen dari total PDB dunia berasal dari kota, dan angkanya terus naik hingga 90 persen di tahun 2050. Dengan demikian, pengelolaan kota seara bijak akan membantu membentuk masa depan dunia.

Bagaimana potret Indonesia ke depan? Apakah akan semakin baik atau malah menjelma menjadi dunia Gulliver?

Pada tahun 2016, World Economic Forum yang bertempat Davos sudah mentasbihkan gong revolusi industri keempat. Sebuah revolusi dimana perkembangan teknologi digital mejadi jenderal-nya. Sehingga, kota di masa depan tentu tak akan lepas dari perkembangan dan disrupsi digital.

Sebelum jauh membayangkan bagaimana ke depan, mari kita lihat kebelakang, melihat sejarah. Pada tahun 1933, piagam Athena sejatinya telah memberikan petunjuk bagaimana membentuk kota yang ideal. Dalam piagam itu kita melihat bahwa kota itu harus memiliki ruang hijau yang dominan, memiliki tempat untuk melakukan aktivitas kreasi dan kebudayaan, membuat jalur-jalur pejalan kaki yang nyaman dengan jalur transportasi yang membentang lancar. Menariknya, prinsip-prinsip ini seakan tak lekang oleh zaman. Masih sangat relevan, namun tentu dengan tantangan membentang lebar.

Dalam buku 8 Mighty Megatrends-nya Anders Lindgren, tersebutlah beberapa tantangan terbesar bagi kota-kota di masa depan. Tantangan tersebut berupa ledakan populasi, urbanisasi yang masif, konsumsi yang tak terkendali, pertumbuhan teknologi yang liar, transformasi digital, konektivitas yang meningkat, degradasi lingkungan serta pendapatan yang semakin timpang. Tantangan-tantangan tersebut, jika tidak dijinakkan hanya akan berujung pada dua kemungkinan: Dunia Gulliver atau Dunia Skynet.

Saya telah menjelaskan secara singkat apa itu dunia Gulliver, tetapi bagaimana dengan Skynet? Saya tidak akan menjelaskannya panjang lebar karena bagi Anda yang belum tahu bisa menonton trilogy Terminator. Intinya, dimasa depan mungkin saja fugsi-fungsi kemanusiaan akan digantikan dengan mesin. Atau dengan istilah lain, padat modal.

Dengan disrupsi digital yang sudah semakin mengemuka, bagaimana jadinya Indonesia? Bagaimana jadinya kota-kota di masa depan? Bagaimana nasib pekerja kita nantinya? Apakah mesin akan menggantikan mereka?

Meski terjadi perluasan ekonomi dan kerja, kondisi lapangan kerja informal, yang kerapkali dikenal sebagai pekerjaan dengan produktivitas dan pendapatan yang rendah serta kegiatan kerja yang tidak aman, belum mengalami perubahan. Kesempatan kerja bagi kaum muda (usia 15-24) pun masih belum berkembang. 

Dari data yang ada, memang pengangguran di Indonesia telah mencapai angka yang cukup baik (5.81 persen dan 5,5 persen di tahun 2015 dan 2016). Tetapi, jika kita melihat kontribusi pekerja keluarga yang tidak dibayar, data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki jumlah pekerja keluarga yang cukup signifikan (17 persen dari total pekerja) dibanding dengan Jerman (0,6 persen dari total pekerja) atau bahkan negara tetangga seperti Singapura (0,6 persen dari total pekerja), Malaysia (4,4 persen dari total pekerja) dan Filipina (12 persen dari total pekerja). Hal ini menunjukkan bahwa masih cukup banyak pekerja di Indonesia yang belum dibayar secara layak.

Apa pasal? Saya rasa jawabannya cukup jelas, keterbatasan skill!

Di Jerman, Federal Employment Agency memiliki anggaran yang besar sehingga bisa didukung oleh 133 ribu orang dibandingkan dengan 1.206 orang yang mendukung employment service & creation Dirjen Bina Penta. Angka ini bahkan lebih buruk ketimbang era sebelum otonomi daerah yang sebesar 2.033 orang. Selain skill mismatch, perusahaan juga masih tampak enggan untuk memanfaatkan jasa employment service mengingat birokrasi pemerintah yang masih sangat tidak efisien.

Dari sisi infrastruktur pun tidak kalah mengkhawatirkan mengingat peringkat Logistic Performance Index (LPI) Indonesia yang cukup buruk (peringkat 59), dan di wilayah ASEAN harus berada di bawah Vietnam (peringkat 53), Filipina (peringkat 52), Thailand (peringkat 38), Malaysia (peringkat 29) dan Singapura (peringkat 1). Kota masa depan adalah kota yang didukung oleh infrastruktur yang memadai. Angka-angka ini tentu bukan hal yang menggembirakan. Jika demikian, masih adakah harapan ke depan?

Kota dimasa depan dibentuk oleh orang-orangnya. Bagaimana dengan infrastruktur? Skill? dan indikator-indikator lainnya? Semua itu adalah syarat cukup. Orang-orang yang tinggal di kota tersebut adalah syarat perlu, syarat utama.

Artinya, kita membutuhkan kombinasi Quadruple Helix yang terdiri dari Pemerintah, Swasta, Universitas dan Masyarakat. Disrupsi digital yang menurut Lindgren merupakan salah satu tantangan terbesar bisa diberdayakan untuk melakukan sebuah lompatan kuantum untuk membentuk kota dimasa depan, tentunya dengan berfungsinya Quadruple Helix tersebut. Keterbatasa infrastruktur fisik bisa dikejar dengan inovasi digital, Project loon google misalnya. Tanpa harus menunggu lama, balon google bisa ditempatkan di wilayah-wilayah terpencil di Indonesia sehingga bisa meningkatkan keterjangkauan.

Bagaimana dengan keterbatasan keterampilan pekerja-pekerja di Indonesia? Apakah nantinya mereka akan digantikan oleh mesin? Apalagi dengan era disrupsi digital seperti sekarang, apakah mereka masih bisa bertahan? Jawabannya bisa!

Sebagai contoh, supir Go-Jek. Mayoritas mereka berpendidikan SMA kebawah, dengan beragam profesi sebelumnya yang hanya membutuhkan skill terbatas. Tetapi bisa dibilang kini mereka menjadi pekerja-pekerja yang Tech-Savy, melek dengan teknologi. Contoh lainnya adalah petani-petani yang diberdayakan oleh I-Grow.

Apa itu I-Grow? Anda tahu game Farmville? Singkatnya, I-Grow adalah FarmVille di dunia nyata. Petani-petani yang bekerja di I-Grow kebanyakan hanya lulusan SD, namun jika melihat keahlian mereka, tentu Anda akan berdecak kagum. Petani-petani ini, diajarkan untuk membuat pupuk organik dengan metode eksperimen, dan mereka sangat fasih dalam melakukannya. Suatu hal yang mungkin lulusan IPB saja tidak mampu melakukannya.

Dengan dukungan pemerintah, swasta, kampus dan komunitas, jadilah contoh-ocntoh ini bisa saja ter-scale up ke level nasional. Sehingga lompatan kuantum itu bukan lagi sebuah hal yang utopis.

Bagaimana dengan kondisi kota-kota di Indonesia yang mayoritas didominasi oleh informalitas? Sekali lagi isunya adalah optimaliasi peran Quadruple Helix. Sebuah studi yang dilakukan oleh University of Sydney terhadap kondisi informalitas di pojok kumuh kota bandung menunjukkan bahwa informalitas ini, jika dikelola dengan baik akan mampu menghasilkan sebuah titik keseimbangan baru di masa depan. Membangun dan melebur dengan masyarakat.

Sehingga, konsep kota masa depan kedepan adalah konsep kota cerdas (Smart City), yang mampu meningkatkan koneksi antar warga, berpusat pada warga, bekerja untuk warga. Teknologi hanyalah pemanis, warga adalah pusatnya. Mari kita merenung, kota-kota kita dimasa depan dibuat untuk siapa?

*) Peneliti Institute for Sustainable Development in Indonesia (ISDI)

   Alumni Australia-Indonesia Leaders Program (AILP)

   Pengajar di FEB UI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement