Senin 17 Jul 2017 17:33 WIB

Kasus Perundungan Harus Diusut Tuntas

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Andi Nur Aminah
Ilustrasi Stop Bullying
Foto: Foto : MgRol_92
Ilustrasi Stop Bullying

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pelaku perundungan yang teridentifikasi, kerap kali berasal dari mereka yang pernah mengalami posisi korban perundungan juga. Karena tidak ditangani tuntas, maka pelaku menduplikasi perilakunya ke pihak yang dianggap 'lemah'.

"Semakin banyak korban perundungan yang gagal diidentifikasi dan dipulihkan psikologisnya, maka akan muncul calon pelaku-pelaku perundungan berikutnya. Itu artinya, kita makin sulit menyelesaikan soal perundungan karena tak cermat mengidentifikasi akar soal dan tepat memberikan solusi," jelas pemerhati pendidikan, Asep Sapaat.

Kasus perundungan oleh mahasiswa, bagi dia, sungguh memilukan. Kata 'maha' sudah kehilangan makna, yang seharusnya kata itu menunjukkan pola pikir dan sikap di atas siswa. Jika ternyata sikap mahasiswa saja tidak berbeda dengan siswa, pola pengajaran institusi pendidikan ini perlu dipertanyakan.

"Hemat saya, ada beberapa hal esensial yang patut disimak dari kasus perundungan di kalangan mahasiswa. Perundungan ini biasanya dilakukan kelompok siswa atau mahasiswa, artinya ada pentolan dan pengikutnya," papar Asep.

Maka, dia melanjutkan, fokus pengajaran dan pendidikan adalah membina serta membimbing kelompok anak muda tersebut. Mereka harus dibantu untuk sanggup menerima hal-hal baru yang positif, seperti menghargai perbedaan, tak merampas hak orang lain, dan sebagainya.

"Pelaku perundungan cenderung memiliki persoalan dalam hal kedisiplinan. Mereka suka mengabaikan dan melanggar aturan, seperti bolos, tak mngerjakan tugas, melawan nasihat orang tua atau guru," jelas Asep.

Yang sering salah dilakukan orang tua dan guru, bagi dia, adalah menghukum anak-anak tersebut seperti 'diasingkan' atau 'dipermalukan'. Seharusnya mereka bisa diberikan perhatian istimewa saja, tanpa harus menghukum dengan alasan yang tidak logis.

"Keluarga dan sekolah tak bisa jadi mitra sinergis dalam mengembangkan pribadi anak yang dewasa. Selain karena orang tua dan guru miskin keteladanan, situasi pengajaran lebih dominan daripada situasi pendidikan," jelas dia dalam rilis, Senin (17/7) siang.

Mengajarkan tentang perundungan itu mudah, tetapi Asep menambahkan, membentuk pribadi yang dewasa menyikapi dan menghargai perbedaan jauh lebih sulit. Semakin bias nilai-nilai kehidupan di keluarga dan sekolah, membuat proses mendewasakan pribadi anak makin terjal jalannya.

Pengajaran di sekolah dan kampus, dianggap Asep, juga miskin 'pengalaman belajar' dan 'refleksi belajar' atas setiap pengalaman belajar anak. Anak tak memiliki kesan mendalam dari setiap proses belajar yangg telah terjadi.

Bagi Asep, cara mengusut tuntas kasus perundungan, adalah dimulai dengan menjadi orang tua dan guru yang dewasa menyikapi kasus dalam perundungan di dunia pendidikan. Lalu menjadikan lingkungan sekolah atau kampus sebagai salah satu lingkungan terbaik demi anak-anak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement