REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ketersediaan garam di Tanah Air semakin menipis. Karena, dari kebutuhan 6 juta ton garam setiap tahunnya, stok yang ada pada semester pertama 2017, hanya setengahnya dan belum ada lagi penambahan hingga saat ini.
Salah industri yang terancam, adalah industri farmasi di Tanah Air terancam kekurangan bahan baku. Karena, garam menjadi komponen utama.
"Industri farmasi, sangat bergantung pada garam sebagai bahan baku utama. Misalnya, untuk pembuatan infus dan cairan pencuci darah untuk pasien hemodialisa," ujar salah satu pelaku industri farmasi, Arthur Tanujaya, kepada wartawan, Rabu petang (13/7).
Menurut Arthur, garam yang diperlukan industri farmasi memang memiliki spesifikasi yang khusus. Garam pada farmasi, paling banyak digunakan untuk pembuatan cairan infus dan HD liquid untuk pencucian darah. "Saat ini jumlahnya terus berkurang, karena produksinya juga berkurang gara-gara tak ada bahan baku," katanya.
Pada awal tahun ini, industri farmasi hanya memiliki garam yang cukup untuk enam bulan produksi. Padahal, biasanya mereka punya stok garam untuk satu tahun. "Jadi sekarang farmasi sudah menjerit," katanya.
Arthur mengatakan, kebutuhan garam untuk industri farmasi mencapai 3.000 ton setiap tahunnya. "Kami berharap pemerintah bisa segera mencari solusinya," katanya.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara, saat ini, stok garam dalam negeri terus menipis. Tingginya kebutuhan belum bisa diimbangi oleh produksi dalam negeri yang baru bisa mencapai 1,8 juta ton per tahun.
Selain mengancam ketersediaan garam bagi masyarakat, kata dia, kondisi inipun mengancam keberlangsungan sejumlah industri di dalam negeri yang menjadikan garam sebagai salah satu bahan baku utama.
Selain itu, kata dia, industri aneka pangan pun terancam tak berproduksi karena tidak adanya bahan baku. Dia mengatakan, kebutuhan garam rumah tangga dalam negeri mencapai 750 ribu ton per tahunnya.
Kebutuhan akan garam ini, kata dia, ditambah dengan sektor industri seperti CAP dan kertas sebanyak 2 juta ton per tahun, serta aneka pangan yang juga mencapai 2 juta ton per tahunnya. Tak hanya itu, industri perikanan pun menjerit karena tidak bisa mengawetkan ikan hasil tangkapan dalam waktu yang biasa.
"Kemarin ada laporan, di Cirebon dan Indramayu ada dua ton ikan busuk karena tidak ada garam untuk pendinginan yang mengawetkan," kata Cucu.
Tak hanya itu, kata dia, terdapat 76 industri kecil menengah di Jawa Barat yang menghentikan produksi karena ketiadaan garam yang merupakan bahan baku utama. "Rata-rata IKM 50 tenaga kerjanya. Berarti ada 3.500 warga yang kehilangan mata pencaharian," katanya.
Padahal, kata dia, nilai devisa dari industri yang menggunakan garam cukup besar, yakni 20 miliar US dollar per tahunnya. Oleh karena itu, pihaknya meminta pemerintah mencari jalan keluar atas minimnya stok garam ini. "Ini berbahaya kalau dibiarkan," katanya.