Selasa 11 Jul 2017 09:34 WIB

Tjahjo: Pemerintah Siapkan Opsi Balik ke UU Pemilu yang Lama

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bilal Ramadhan
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
Foto: Antara
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengambil ancang-ancang tidak meneruskan pembahasan Rancangan Undang-undang Pemilu atau kembali menggunakan Undang-undang Pemilu lama. Hal ini merupakan satu dari pilihan yang akan dilakukan pemerintah, jika pansus pemilu dan pemerintah tidak menemui satu kesepakatan musyawarah mufakat berkaitan poin ambang batas pengajuan calon presiden (presidential threshold).

Menteri Dalam Negeri Tjahjo mengungkapkan hal tersebut pasca kembali ditundanya pengambilan keputusan tingkat I RUU Pemilu untuk ke sekian kalinya. "Menerima keputusan hari Kamis, karena masih ada masalah yang masih krusial di bawa paripurna untuk diambil keputusan. Atau pemerintah mengembalikan ke UU Pemilu yang lama, toh sama saja, nggak ada perubahan," ujar Tjahjo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Senin (10/7) malam.

Opsi tersebut ditempuh lantaran Pemerintah tetap menginginkan seluruh poin isu krusial diputus secara musyawarah mufakat. Sementara, dari keseluruhan pasal di RUU Pemilu yang kini dibahas, diketahui poin isu presidential threshold tak kunjung menemui titik temu antara fraksi-fraksi dan pemerintah.

Pemerintah bersikeras dengan besaran 20 kursi DPR dan 25 perolehan suara sah nasional, sementara fraksi terbagi menjadi tiga kubu yakni pendukung 20-25 persen, fraksi pendukung presidential threshold ditiadakan atau nol persen dan fraksi jalan tengah yakni 10-15 persen.

Terkait hal tersebut, Tjahjo mengungkap alasan pemerintah bersikeras bertahan di poin tersebut demi peningkatan kualitas demokrasi. "Pemerintah hanya ingin pasal yang sudah baik mari kita tingkatkan atau dipertahankan," katanya.

Ia juga menilai, pilihan kembali ke UU lama juga tidak menjadi persoalan. Sebab, ia meyakini legitimasi pemilu serentak 2019 mendatang tetap kuat jika menggunakan UU Pemilu lama. Ia juga menilai, tidak perlu ada peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu) yang dikeluarkan pemerintah berkaitan prinsip keserentakan Pemilu 2019.

"Tidak harus perppu. Sama saja. Nggak ada (yang perlu diperbaiki). Itu kan MK. Sama kayak dulu pas mau pemilu tiba-tiba MK mutus terbuka, semua jalan saja," ungkapnya.

Adapun Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edi usai menutup rapat pansus pemilu dengan pemerintah kembali mengungkap adanya penundaan dalam pengambilan keputusan tingkat I yang diagendakan Senin (10/7). Meskipun sebelumnya anggota pansus menyebut setidaknya ada empat isu krusial yang akan diambil keputusan, namun nyatanya kembali dilakukan penundaan.

Sebagai gantinya, rapat pengambilan keputusan kembali diundurkan menjadi Kamis (13/7) lusa esok. Lukman mengungkap, sebelum pengambilan keputusan akan didahului dengan rapat internal Pansus RUU Pemilu pada Rabu (12/7).

"Rapat pansus secara internal tanpa pemerintah dalam rangka untuk menyepakati sikap pansus terhadap lima isu krusial sehingga nanti apa yang diputuskan internal pansus pada Rabu pagi itulah yang kemudian nanti akan dilakukan pengambilan keputusan di hari Kamis-nya," ujar Lukman.

Meski kembali ditunda, Lukman memastikan jadwal pengesahan RUU Pemilu tidak akan molor dari target yakni pada 20 Juli mendatang. "Atas keputusan maka pimpinan Pansus akan memberitahukan kepada pimpinan DPR bahwa tidak ada penundaan pelaksanaan paripurna dan kita siap untuk diparipurnakan tanggal 20," ungkapnya.

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement