REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menjelaskan awal pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberikan kewenangan luar biasa seperti Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) era Orde Baru. Kopkamtib dibubarkan ketika kondisi keamanan sudah kondusif.
"KPK ini pun seperti Kopkamtib, diberi kewenangan luar biasa jadi arah awal agar polisi dan jaksa kuat. Kalau sudah kuat, bisa dibubarkan seperti Kopkamtib," kata Yusril dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK di Jakarta, Senin (10/7).
Ia menjelaskan Kopkamtib dibentuk untuk pemulihan keamanan dan ketertiban yang merupakan tugasnya Polri. Namun, Presiden memberikan kewenangan itu kepada TNI melalui Kopkamtib.
Menurut dia, dalam perjalanannya, Kopkamtib banyak mendapatkan kritikan dan terjadi sejumlah persoalan. "Kopkamtib diakhiri sendiri oleh Soeharto," ujarnya.
Yusril menjelaskan KPK mirip dengan Kopkamtib karena awal pembentukannya untuk memperkuat dua lembaga penegak hukum lain, dalam hal ini Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung. Menurut dia, ketika pembahasan RUU KPK saat itu, yang dikedepankan adalah kewenangan koordinasi, supervisi, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
"Akan tetapi, KPK dibentuk dengan undang-undang, jadi terserah Presiden dan DPR (pembuat UU) mau diapakan (KPK). Saya tidak tidak masuk ke urusan itu," kata Yusril.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Pansus Hak Angket dengan ahli hukum tata negara, Pansus mengajukan empat poin pertanyaan kepada Yusril dan pakar hukum tata negara Zain Badjeber.
Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa menyatakan empat pertanyaan itu adalah keberadaan hak angket dalam sistem ketatanegaraan, posisi DPR menjalankan tugas penyelidikan, kelembagaan KPK dalam sistem ketatanegaraan dan latar belakang sejarah lahirnya KPK.