REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- alumni Program Diploma Tiga (D3) Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sobaruddin Subekti dan Muhammad Fattahu, yang saat ini bekerja sebagai tenaga keperawatan di Jepang berkesempatan membagi ilmunya pada mahasiswa D3 Keperawatan UMM (10/7) di sela masa liburannya di Indonesia.
Subekti dan Fattahu merupakan dua dari tujuh alumni D3 Keperawatan UMM yang saat ini bekerja di sejumlah rumah sakit dan lembaga kesehatan di Jepang. Subekti bekerja di Sangenjaya Hospital sementara Fattahu di Central Otaku, keduanya terletak di Tokyo. Mereka bekerja di Jepang melalui program kerjasama pemerintah Indonesia dan Jepang.
Bagi Subekti, kualitas lulusan D3 Keperawatan UMM sudah sangat mumpuni untuk bersaing secara profesional dengan lulusan luar negeri. “Pengetahun dan pengalaman yang kita dapat selama kuliah di UMM sudah lebih dari cukup untuk bersaing dengan perawat dari Filipina maupun Jepang sendiri. Kendala kita hanya bahasa saja, dan itu bisa dilatih,” ujarnya saat sharing pengalaman di Auditorium Kampus II UMM.
Pengalaman bekerja di luar negeri bagi mereka sungguh mengesankan. Selain merasakan suasana baru dengan budaya dan gaya hidup berbeda, dari sisi pendapatan juga cukup tinggi, terlebih jika dibandingkan dengan gaji perawat di Indonesia. Gaji pertama seorang perawat bisa mencapai Rp 19 Juta, sedangkan biaya hidup berkisar antara Rp 8 hingga 9 juta saja. Subekti malah digaji mencapai Rp 35 juta karena sudah memperoleh registered number (RN) sebagai perawat profesional.
Diakui Subekti, perawat yang telah memiliki RN memang digaji dua kali lipat karena telah dianggap profesional dan sudah bisa menangani pasien secara langsung. RN merupakan sertifikasi nasional bagi perawat di Jepang yang juga diakui secara internasional. Untuk memiliki RN, seorang perawat harus mengikuti ujian keperawatan yang sepenuhnya berbahasa Jepang. “Bahkan, ini juga berlaku bagi perawat yang lulus kuliah di Jepang. Mereka pun tidak mudah untuk lulus ujian ini dan bisa mendapatkan RN. Dari segi persentase, hanya 10 persen perawat yang bisa lolos ujian ini,” jelas Subekti.
Selain Subekti dan Fattahu, pada bulan Februari lalu, alumni D3 Keperawatan UMM lainnya yang juga bekerja di Jepang, Micky Herera, sempat mengunjungi adik-adiknya di UMM untuk memberikan motivasi dan inspirasi. Seperti halnya Subekti, Micky juga termasuk di antara sedikit perawat yang sudah mendapatkan RN dari pemerintah Jepang. Sekalipun mereka lulusan D3, namun di Jepang kualifikasi mereka disetarakan dengan S1. Dengan adanya RN ini, mereka juga berkesempatan bekerja di Eropa, karena RN di Jepang diakui secara internasional.
Menindaklanjuti banyaknya alumni yang saat ini bekerja di Jepang, Kepala Program Studi D3 Keperawatan UMM, Reni Ilmiasih, mengatakan akan memperkuat kurikulum agar alumninya siap bersaing secara internasional. “Selain di Jepang, ada juga beberapa alumni kita yang bekerja di Arab Saudi, Taiwan, Australia, dan sebagainya. Untuk itu, kurikulumnya coba kita perkuat agar adik-adiknya bisa mengikuti jejak mereka,” paparnya.
Di kurikulum, kata Reni, sudah ditambahkan mata kuliah wajib bahasa asing, yaitu bahasa Jepang dan bahasa Arab, selain bahasa Inggris tentunya yang sudah menjadi program universitas. “Selain kurikulum, kemitraan dengan berbagai universitas dan lembaga luar negeri juga kita perkuat. Yang pasti, kita sudah siap untuk menghasilkan alumni yang bertaraf internasional,” ujarnya.