REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Network for South East Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap mengatakan, bahwa pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) di Istana Negara, Jakarta Pusat pada Ahad (25/6) lalu memunculkan berbagai macam implikasi terhadap komponen-komponen umat Islam lain.
Beberapa implikasi yang dimaksud, menurut Muchtar, antara lain, perdebatan pro kontra muncul di berbagai media massa dan sosial. "Menurut pengamatan kami, lebih banyak umat tidak setuju atau kontra terhadap pertemuan itu ketimbang mendukung atau pro," ujar Muchtar kepada Republika.co.id, Senin (3/7).
Selain itu, Muchtar menambahkan, implikasi lainnya munculnya tanggapan dan penegasan sikap politik yang berbeda dari presidium 212. Perbedaan sikap politik tersebut antara lain ditunjukan oleh Ketua Umum Parmusi, Usama Hisyam dan Amien Rais yang memanggil Ketua Presidium Alumni 212 ke Yogyakarta saat hari pertemuan GNPF-MUI dan Jokowi.
Tanggapan dan pernyataan sikap juga muncul dari Rizieq Shihab. "Salah satu poin tanggapan ini yakni meminta setop perdebatan di media sosial soal pertemuan GNPF-MUI dan Jokowi. Terkesan, permintaan ini, membatasi kebebasan suara kritis dan perdebatan pemikiran. Tentu saja dari sisi penegakan prinsip demokrasi, permintaan ini menjadi kontroversial," katanya.
Menurut Muchtar, Rizieq Shihab juga memprakarsai rencana rapat akbar umat Islam untuk menjelaskan tentang GNFP-MUI. Muchtar menilai, terkesan prakarsa ini adalah upaya untuk mengendalikan dan mengelola dampak negatif pertemuan GNPF-MUI dan Jokowi terhadap persatuan dan sinerjitas komponen-komponen strategis perjuangan umat Islam.
Ragamnya implikasi pertemuan GNPF-MUI dan Jokowi ini, menurut Muchtar, bisa menjadi beragam penafsiran dan pemaknaan oleh pengamat dan juga aktor bela Islam selama ini. "Dari sisi kepentingan perjuangan bela Islam, tentu negatif karena telah menimbulkan pro kontra cukup meluas dan membesar, bahkan bagi pimpinan GNPF-MUI," ujarnya.
Di lain pihak, dari kepentingan politik pencitraan Jokowi untuk Pilpres 2019 mendatang, tergolong belum berhasil untuk mengubah perspektif negatif umat Islam.
"Bukannya mendapat persepsi positif dari umat Islam politik, malah semakin jelas dan terbuka di publik ketidaksukaan umat Islam terhadap Jokowi. Hal ini harus menjadi pelajaran bagi Jokowi, perlu langkah-langkah strategis menghadapi sikap politik negatif dan oposisional umat Islam politik," pungkasnya.