Sabtu 01 Jul 2017 05:46 WIB

Oleh-Oleh Lebaran: Jeritan Petani Lampung Utara

Ubedilah Badrun
Foto: istimewa
Ubedilah Badrun

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Ubedilah Badrun *)

 

Pulang kampung ke Blambangan Pagar Kotabumi Lampung Utara saat lebaran memiliki kesan tersendiri. Di tengah menikmati silaturahim keluarga besar, menikmati kampung tua budaya Abung (Lampung Daratan) yang mengagumkan, saya sempatkan diri bercengkrama dipinggir kolam ikan dengan para petani sambil minum kopi dan makan 'skubal' (kue khas Lampung terbuat dari ketan) serta sepiring kue legit Lampung.

 

Ngopi, skubal, legit, dan Lampung Utara

 

"Ngupei pay" (ngopi dulu). Begitu masyarakat Lampung utara saat mengajak tamu nya untuk ngopi sebagai salah satu falsafah hidup masyarakat Lampung (piil pesenggiri) nemui nyimah (menghormati tamu). Ngobrol sore itu sambil minum kopi tak terasa, berbagai tema diperbincangkan sampai tema yang kemudian menarik perhatian, terkait nasib petani singkong tepung tapioka dan petani karet.

 

Sebelum obrolan tersebut diurai, ada baiknya sekilas saya narasikan tentang Lampung Utara. Sebuah Kabupaten dengan jumlah penduduk sekitar 590.620 jiwa yang didominasi penduduk usia muda dengan tingkat ratio ketergantungan (Dependency Ratio) mencapai 54,70 persen, dan tingkat partisipasi angkatan kerja mencapai 67,85 persen (sumber: BPS).

 

Sektor pertanian masih dominan menopang perekonomian daerah Lampung Utara. Daya serap tenaga kerja kabupaten ini mencapai 58,3 persen yang didominasi komoditas palawija dan tanaman perkebunan, di antaranya kopi, lada, sawit, karet dan singkong tepung.

 

Kabupaten Lampung Utara memiliki 23 kecamatan, dengan luas wilayah total 2.725,63 km persegi (7,72 persen luas wilayah Provinsi Lampung). Hingga saat ini Kabupaten di ujung utara Lampung ini mengelola dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berkisar Rp 900 miliar per tahun. Anggaran yang cukup standar untuk membangun sebuah kabupaten dengan penduduk 590.620 jiwa.

 

Ini jeritan petani

 

Sambil ngopi, obrolan dengan petani mengerucut pada persoalan dua kelompok petani yang saat ini menjerit, petani singkong dan petani karet. Petani Singkong menanam singkong yang mereka sebut singkong Kasesat dan singkong Thailand. Kedua jenis singkong ini untuk bahan tepung yang kabarnya di ekspor ke negeri tirai bambu dan negara-negara lain.

 

Dalam tiga tahun terakhir ini, penghasilan petani singkong turun mencapai 50 persen. Dari proses penjualan ke pabrik saja petani sudah dirugikan. Misalnya, saat ditimbang berat singkong sudah dikurangi 30 persen karena dianggap mengandung kadar air 30 persen.

Proses pengurangan berat 30 persen ini tanpa menggunakan alat ukur yang benar, sehingga dari pengurangan berat karena dianggap singkongnya mengandung air 30 persen saja petani sudah mengalami kerugian. Padahal, pada empat sampai enam tahun lalu, dengan jenis singkong yang sama, perusahaan menetapkan pengurangan kadar air hanya 15 persen sampai 20 persen saja.

 

Jeritan petani singkong tidak hanya pada soal pengurangan berat karena dinilai mengandung air 30 persen, tetapi juga harga singkong turun drastis. Jika tiga tahun lalu per kilogram mencapai Rp 1.300, tetapi dalam tiga tahun terakhir ini terus turun hingga mencapai Rp 600 perkilogram. Otomatis penghasilan petani singkong turun hingga 50 persen.

 

Naiknya angka penetapan kadar air dalam singkong hingga mencapai 30 persen dan turunnya harga hingga 50 persen makin membuat petani menjerit. Itu belum dikurangi ongkos angkut truk dari kebun menuju pabrik yang biayanya mencapai Rp 60 per kilogram dan ongkos cabut singkong  Rp 60 sampai Rp 70 perkilogram. Padahal, ongkos produksi yang harus dikeluarkan petani singkong untuk biaya perhektar mencapai kurang lebih Rp 10 juta.

 

Derita petani singkong makin diperparah dengan pupuk yang langka, sehingga harganya naik cukup tinggi. Misalnya, jika tiga tahun lalu harganya Rp 120 ribu per sak, sekarang sudah mencapai Rp 145 per sak. Sempurna sudah derita petani singkong. Mereka menjerit.

 

Derita petani Lampung Utara juga terjadi pada petani karet. Kurang lebih menunggu tujuh tahun petani karet baru bisa memanen karet dengan 'menyadap' pohon karet. Membutuhkan kesabaran luar biasa dari petani karet untuk sampai pada waktunya untuk memanen. Pada tiga tahun lalu, harga karet mentah dari petani dijual ke pabrik harganya mencapai Rp 10 ribu per kilogram, saat ini harga karet turun drastis hingga Rp 5.000 per kilogram.

Turun harga hingga mencapai 50 persen. Tentu ini berdampak pada menurunya penghasilan petani karet. Jeritan dan derita petani di tanah yang subur.

 

Petani singkong pernah berusaha untuk demonstrasi ke perusahaan dan pemerintah daerah. Namun, sampai saat ini, belum ada penjelasan utuh tentang mengapa harga singkong dan harga karet turun hingga 50 persen.

 

Petani terus menjerit sementara pengusaha dan politisi Lampung Utara, sampai saat ini, kurang memiliki perhatian yang serius atau cenderung mengabaikan aspirasi petani. Mereka elit politik cenderung makin sibuk mengutamakan kepentingan menyambut kontestasi pilkada 2018. Sementara, pengusaha menikmati keuntungan atas penurunan harga tersebut. Wong cilik kembali diabaikan.

 

Demonstrasi petani singkong sudah dilakukan sejak Januari 2017, mereka menuntut nota kesepahaman (MoU) Nomor: 005/147/04-LU/2016 tentang besaran harga beli dan potongan harga singkong dari perusahaan yang dibebankan pada petani. Pemerintah dan DPRD  seharusnya mengawal kesepakatan harga beli singkong dari petani dan potongan sebesar 14 persen bukan 30 persen.

Persoalan ini sudah sampai ke Presiden Jokowi, petani menuntut harga singkong tepung minimal Rp 1.300 per kilogram seperti harga tiga tahun sebelumnya. Namun, hingga saat ini, Presiden Jokowi belum merespons. Mengapa Presiden Jokowi perlu merespons? Ini terkai pengusaha besar dan kontrol terhadap barang impor.

 

Di penghujung obrolan, sang petani membuat pernyataan mengejutkan. " Kalau begini terus, pada pilkada 2018 dan pemilu serentak 2019 nanti, saya dan semua petani di sini tidak akan ikut memilih, tidak ada gunanya!".

 

Silakan politisi dan pengusaha merenung memaknai pernyataan petani tersebut, termasuk Presiden Jokowi. Ini waktunya mendengar jeritan petani dan memenuhi tuntutannya.

*) Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement