Kamis 29 Jun 2017 08:01 WIB

Oey Tjeng Hien, Sukarno, dan Muhammadiyah

Kampung cina di Batavia tahun 1910.
Foto: Gahetna.nl
Kampung cina di Batavia tahun 1910.

Oleh: Sunano*

Orang mengenalnya Haji Karim Oey, tokoh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Di PITI, Haji Karim Oey menjabat ketua umum selama 10 tahun dari 1963-1973, periode selanjutnya beliau menjabat sebagai Bendahara Umum PITI.

Lahir di Padang tahun 1905 dengan nama Oey Tjen Hien dari keluarga pengrajin emas. Pada usia 21 tahun merantau ke Bintuhan, Bengkulu untuk berdagang. Pada usia 25 tahun, Oey akhirnya memeluk Islam setelah mempelajari berbagai agama yang ada dengan melakukan studi perbandingan agama. Setelah masuk Islam, Oey ikut memprakarsai pendirian Cabang Muhammadiyah Bintuhan. Selama kepemimpinan Oey, Muhammadiyah Bintuhan mengalami kemajuan luar biasa, banyak ranting Muhammadiyah berdiri dan kegiatan sangat semarak.

Kesuksesan mempimpin Muhammadiyah Bintuhan membuat Oey diminta masuk pengurus Konsul Muhammadiyah Bengkulu. Kepindahan pengasingan Soekarno dari Endeh ke Bengkulu disambut meriah oleh warga Muhammadiyah Bengkulu. Apresiasi Muhammadiyah yang sangat besar, membuat Soekarno tertarik bergabung Muhammadiyah. Dalam rapat pergantian ketua konsul yang sedang sakit, akhirnya terpilih Oey sebagai ketua Konsul Muhammadiyah dan Soekarno menjadi Ketua Majelis Pengajaran.

Pada tahun 1938 Bung Karno dipindahkan tempat pengasingannya dari Pulau Endeh ke Bengkulu. Muhammadiyah Bengkulu diinstruksikan oleh Pengurus Besar Muhammadiyah Yogyakarta untuk mengelu-elukan kedatangan Bung Karno itu di Tebah Penanjung batas Kepahyang, dengan Bengkulu.

Maka sejak dari Curup dan Kepahyang jama’ah Muhammadiyah telah menyambut Soekarno dengan baik. Dan tidak beberapa lama, Bung Karno menyatakan bergabung menjadi anggota Muhammadiyah, oleh PB Muhammadiyah Yogyakarta, penggabungan Bung Karno disiarkan ke seluruh Indonesia.

Saat Konperensi Muhammadiyah se-Sumatera di Bengkulu tahun 1941 yang di hadiri oleh Haji Mas Mansur sebagai ketua PB Muhammadiyah Yogyakarta, menunjuk kembali dengan suara bulat Majelis Konsul Muhammadiyah dipegang oleh Oey Tjeng Hien dan Ketua Majelis Pengajaran dipegang oleh Bung Karno.

Sejak itu, hubungan dekat antara Soekarno dan Karim Oey terus berlanjut sampai kemerdekaan Indonesia. Diskusi keagamaan dan nasionalisme kemerdekaan di Bengkulu mendorong Oey ikut terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tokoh Muhammadiyah Bengkulu mendapat wawasan kebangsaan yang diperjuangkan Soekarno, yang akhirnya menjadi nasionalis sejati yang memperjuangkan kemerdekaan dan modernisme Islam.

Sedangkan Bung Karno mendapat banyak ilmu agama dengan berdialog langsung dengan ulama-ulama Muhammadiyah di Bengkulu. Selama di Bengkulu, Bung Karno banyak menulis tentang keislaman yang dimuat pada majalah Panji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan.

Sejak menjabat Konsul Muhammadiyah Bengkulu, Oey banyak terlibat dalam kegiatan Persyarikatan Muhammadiyah nasional. Berkawan baik dengan Hamka, K.H. Mas Mansur, dan jajaran pimpinan PB Muhammadiyah Yogyakarta. Hubungan dekat dengan pengurus teras Muhammadiyah mengatarkan Oey menjadi anggota Majelis Tanwir Muhammadiyah (1952–1973) dan ketua dewan ekonomi Muhammadiyah (1964–1973).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement