Rabu 28 Jun 2017 10:53 WIB

Alumni 212: Pertemuan Presiden-GNPF Bisa Hentikan Kegaduhan

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Presidium Alumni 212 Ustad Ansufri Idrus Sambo (kanan)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ketua Presidium Alumni 212 Ustad Ansufri Idrus Sambo (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presidium Alumni 212 mengapresiasi pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) pada 25 Juni lalu. Presidium Alumni 212 menilai pertemuan tersebut merupakan bentuk dari rekonsiliasi.

Ketua Umum Presidium 212 Ansufri Idrus Sambo menyambut baik pertemuan tersebut, selama diniatkan sebagai pra dialog nasional antara para ulama, aktivis-aktivis dan tokoh-tokoh bangsa dengan pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Mengingat pentingnya dialog dibangun sebagai solusi menyelamatkan bangsa dari kegaduhan yang terus menerus dan tidak berujung.

"Pertemuan itu harus bertujuan menyelamatkan dan membebaskan semua ulama, aktivis dan ormas Islam," kata Ansufri dalam siaran pers pada Republika.co.id, Rabu (27/6). Lebih lanjut Ansufri mengingatkan agar pertemuan tersebut harus berdasarkan kepentingan umat Islam. Jangan sampai dinodai dengan kepentingan politik atau ekonomi tertentu saja.

"Kami sambut baik jika pertemuan selama dilakukan untuk kepentingan ummat Islam bukan segelintir orang atau pihak saja," jelasnya.

Ansufri berharap dengan dibangunnya komunikasi dengan presiden dapat menyelamatkan bangsa dari kegaduhan yang terus menerus dan dikhawatirkan berujung pada perpecahan, kerusuhan, konflik horizontal dan disintegrasi bangsa yang bisa mengancam keutuhan NKRI.

Sebelumnya, pada Ahad (25/6) pertemuan antara Presiden dan perwakilan GNPF digelar tertutup. Dalam pertemuan tersebut, ketua GNPF-MUI Bachtiar Nasir menyampaikan situasi kekinian dalam hubungannya antara pemerintah dan ulama, khususnya pada masa Pilgub DKI Jakarta dan pasca Pilgub, karena dinilai adanya kesenjangan yang begitu kuat dari satu pihak dan pihak lainnya.

Selain itu, Bachtiar juga menyampaikan, adanya suasana paradoksial. Pada satu sisi Pemerintah berpendapat tidak melakukan kebijakan bersifat menyudutkan umat Islam, tapi di sisi lain GNPF menangkap perasaan umat Islam yang merasa dibenturkan dengan Pancasila, NKRI dan kebhinekaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement