Selasa 20 Jun 2017 20:54 WIB

Fase Kritis Demokrasi Kita Hari ini

Warga memasukan surat suara ke kotak suara saat pemungutan suara ulang (PSU) putaran kedua Pilkada DKI Jakarta di TPS 01 Gambir, Jakarta, Sabtu (22/4).
Foto: Republika/ Rakhmawaty La
Anggota berjalan di antara kursi kosong usai mengikuti sidang paripurna penutupan masa persidangan V tahun sidang 2015-2016 di gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Kamis (29/7).

Mahfud MD (2012) pernah mengutip Samuel P. Huntington dalam menganalisis perjalanan demokrasi negeri ini. Mahfud, meminjam Huntington, mengatakan bahwa jika melihat realitas demokrasi kita hari ini sesungguhnya sampai manakah tahapan demokrasi negeri ini?

Ilmuwan politik asal Amerika Huntington itu mengatakan bahwa setidaknya ada dua tahapan dalam demokrasi yakni tahapan transisi dan juga tahap konsolidasi.

Tahapan transisi ini adalah tahapan di mana sebuah negara beranjak dari cengkeraman rezim lama menuju “dunia baru”, sementara tahapan konsolidasi demokrasi terjadi tatkala demokrasi sudah menjadi satu-satunya acuan serta aturan yang diterapkan dalam negera tersebut, tak ada yang lain.

Jika kita sependapat dan bertolak dengan pola pembacaan demokrasi berdasarkan katagori yang ditawarkan oleh Huntington tersebut tentu dengan sangat mudah kita akan segera menyimpulkan bahwa demokrasi kita hari ini masih berada pada tahap transisi.

Masa transisi demokrasi itu setidaknya terlihat dari masih belum berhasilnya pemerintahan kita “melepaskan” diri dari cengkeraman orde-orde penguasa sebelumnya. Bahkan jika kita mau terus terang sebetulnya reformaasi yang kita banggakan yang terjadi pada 1998 itu belumlah berhasil.

Reformasi dalam arti menggulingkan kekuasaan Soeharto secara formal mungkin sudah, namun yang tak berhasil kita gulingkan adalah “Soeharto-Soeharto” lain dan baru yang pascareformasi kelahirannya semakin lama semakin banyak.

Dalam istilah lain, perampok tunggal negeri ini pada era orde baru adalah Soeharto secara individu, namun pasca reformasi perampok negeri ini adalah Soeharto-Soeharto lain yang lebih abstrak sifatnya.

Lebih dalam lagi kondisi demokrasi kita hari ini juga sangat mungkin bisa dikatakan sebagi demokrasi nirdemos, demokrasi yang tidak menempatkan rakyatknya sebagai instrumen utama dalam pelaksanaannya. Demokrasi yang semacam ini sungguh sangat berbahaya dampaknya jika kita kita biarkan terlalu berlarut-larut.

Kita harus belajar bahwa apapun sistem yang kita jalankan, keadulatan rakyat harus dijunjung setinggi-tingginya. Inggris atau misalnya Belanda yang sejak dahulu konsistenmemilih monarki sebagai sistem dalam bernegara, patut kita ajukan pertanyaan, mengapa mereka berhasil? Jawabannya karena yang mereka utamakan adalah keadaulatan rakyat di atas segala-galanya.

Rakyat menjadi subjek utama yang harus dijamin kehidupannya. Kedaulatan rakyat dijamin oleh negara. Maka jelas, menggunakan sistem model bagaimanapun, berganti pola pemerintahan seperti apapun jika tanpa dibarengi dengan penghargaan serta jaminan atas kedaulatan rakyat maka runyamlah negara tersebut

Tidak ada pilihan lain, yang harus kita lakukan hari inia dalah menjadikan rakyat sebagai tulang punggung dan subjek utama demokrasi. Dengan begitu jalan menuju era konsolidasi demokrasi yang kita idam-idamkan sangat mungkin untuk kita raih. Semoga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement