Rabu 14 Jun 2017 06:41 WIB

Hatta dan Kisah Pendirian Partai Demokrasi Islam Indonesia

Hatta berpidato di depan anggota KNIP Januari 1947
Foto:
Sukarno dan Mohammad Hatta

Pemikiran Hatta yang betul-betul baru dan akan membedakan PDII dengan partai lain, ialah dalam hal struktur pimpinan partai.

Hatta menghendaki ada pemisahan yang tegas antara orang yang mengurus organisasi partai,  dengan orang yang mengurus politik partai.

Selama ini,  pimpinan partai di Indonesia lebih menentukan ketimbang pimpinan fraksi di parlemen. Fraksi adalah perpanjangan tangan partai di parlemen. Akibatnya,  para wakil rakyat lebih banyak mendapat pengarahan dari orang-orang di luar parlemen.

Dalam rangka struktur pimpinan partai ini,  Hatta menyarankan,  dan disetujui oleh para penggagas, agar selain ada jabatan "Ketua Umum Partai" yang mengurus organisasi partai,  juga ada jabatan "Pemimpin Partai" yang mengurus politik partai. Pemimpin Partai diharapkan dijabat oleh Ketua Fraksi di parlemen.

Pemimpin Partai atau Ketua Fraksi itulah yang menyampaikan pidato di Kongres atau Muktamar "suatu pidato yang di dalamnya tergambar politik dan kebijaksanaan partai untuk menyelenggarakan cita-cita."

Gagasan Hatta ini telah menjurus kepada adanya Party in Parliament.  Gagasan yang sungguh-sungguh baru!

Apakah tidak akan muncul dualisme?  Mungkin saja,  jika Ketua Umum dan Pemimpin Partai saling berebut popularitas dan tidak mengetahui batas kewenangan masing-masing.

Antara lain atas alasan inilah,  Hatta bersedia untuk sementara memimpin partai.  Dengan wibawa Hatta,  diharapkan potensi konflik yang biasa mendera partai politik,  dapat diredam.

Partai Islam atau Partai Pancasila

Dengan partai yang "berjiwa Islam,  bersifat nasional,  dan berjuang berdasarkan Pancasila", ada yang menganggap PDII bukanlah partai Islam,  melainkan partai Pancasila.

Mengenai hal ini Bung Hatta balik bertanya: "Apakah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu, yang menjiwai seluruh Pancasila, tidak dapat diamalkan menurut paham Islam?"

Menurut Hatta,  orang Islam yang berpegang kepada Tuhan Yang Pengasih dan Pemurah dan Maha Adil haruslah mendidik dirinya sendiri untuk siap setiap waktu membela kebenaran, menegakkan keadilan, berbuat baik terhadap sesama manusia, bersifat jujur, bersikap tolong menolong dalam pergaulan hidup, mencintai kebersihan dan keindahan dalam dunia yang fana ini. 

"Pancasila sebagai rangkaian lima dasar yang disemangati  oleh dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, kata Hatta,  memberikan isi yang tegas untuk melaksanakan cita-cita yang sudah puluhan tahun terkandung dalam hati rakyat, yaitu Indonesia yang adil dan Indonesia yang makmur."

Dalam pernyataan 17 Mei 1967, Hatta yang mengharapkan PDII menjadi partai dan gerakan para pemuda dan rakyat Islam yang akan ikut serta bertanggung jawab tentang nasib bangsa dan negara di masa depan, bersedia membuka jalan, ikut serta memimpin sementara.

Menurut Hatta, kewajiban utama seorang pemimpin demokrat ialah mencarikan gantinya. Makin cepat dia diganti, makin baik. "Umur manusia terbatas," kata Hatta,  "umur pergerakan panjang,  umur negara lebih panjang lagi. Sebab itu nasib pergerakan atau negara tidak dapat disangkutkan pada orang seorang."

Hatta Kecewa

Pada 11 Januari 1967, Hatta berkirim surat kepada Presiden Soeharto menjelaskan maksudnya mendirikan GDII yang dalam tiga bulan akan menjadi PDII. Hatta sendiri yang menyampaikan surat itu kepada Soeharto. Kesan Hatta,  meskipun tidak antusias,  Soeharto tidak keberatan.

Karena sampai bulan April belum ada jawaban dari Pemerintah, pada 14 April, Hatta kembali menyurati Presiden. Dalam suratnya kali ini,  Hatta mengakui berbagai keberatan dari DPR Gotong Royong  terhadap rencana kelahiran partainya.

"Terlalu banyak partai memang tidak baik," kata Hatta,  "tetapi itu tidak berarti mempertahankan yang lama dan menolak jiwa baru."

Pada 17 Mei 1967, pada saat GDII akan segera diumumkan,  datang surat dari Presiden Soeharto yang menyatakan Pemerintah tidak setuju pembentukan GDII dan PDII.

Hatta kecewa karena niat dan kerja ikhlasnya mempersiapkan pembentukan partai baru,  tidak membuahkan hasil.

 

*Lukman Hakiem, peminat sejarah, mantan staf ahli Wapres Hamzah Haz dan M Natsir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement