Rabu 14 Jun 2017 06:41 WIB

Hatta dan Kisah Pendirian Partai Demokrasi Islam Indonesia

Hatta berpidato di depan anggota KNIP Januari 1947
Foto:
Hatta berpidato di depan anggota KNIP Januari 1947

Hatta menggagas gerakan yang kelak akan menjadi partai itu antara lain bersama Mashud Sosrohardjo,  Ismail Hasan Metareum, Ustadz H. Abus Salam Djaelani, H. Salihin Hasan,  Nuckman Syarief, Zuber Hussein, Harjono, Januar Hakim, Mohammad Daud Ali, Norman Razak, Rosman Anwar, Ibrahim Madylao, Kamil Tjokroaminoto, Kamaralsyah,  Habibah Daud,  Sulastomo,  dan Deliar Noer.

Persiapan-persiapan dilakukan mulai 1965. Perundingan bersama Hatta dilakukan di rumahnya,  dan di salah satu ruangan di Universitas Islam Djakarta (UID). Rektor UID,  Prof Hazairin yang tertarik pada gagasan gerakan/partai Islam ini,  mempersilahkan para penggagas untuk menggunakan ruangan di UID sebagai tempat rapat. Hazairin yang ahli hukum Islam, kadang-kadang hadir dalam rapat di UID.

Perundingan itu berkisar pada usaha mencari persamaan pengertian tentang dasar, tujuan,  dan program partai, sampai kepada hal-hal yang bersifat teknis.

KH Abdullah Syafii, Ustadz H Djamalullail,  malah mula-mula bekas aktivis Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan juru bicara Partai Masyumi,  Anwar Harjono, menyokong usaha Hatta dan kawan-kawan.

Setelah tokoh-tokoh Masyumi seperti M. Natsir, Prawoto Mangkusasmito,  M. Yunan Nasution,  Mohamad Roem,  Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap dibebaskan dari penjara rezim Sukarno, dan mereka berinisiatif untuk merehabilitasi Masyumi, Anwar Harjono --dengan penuh pengertian dari Hatta-- menyertai kawan-kawan separtainya dalam ikhtiar itu. 

Mengenai hal ini Anwar Harjono menuturkan, sesudah pemberontakan PKI pada 30 September 1965, dirinya melakukan komunikasi intensif dengan Hatta. Sebagai salah seorang aktivis Liga Demokrasi yang dibubarkan oleh Presiden Sukarno,  Harjono menganjurkan Hatta untuk mengumpulkan semua anggota Liga Demokrasi sebagai sebuah kekuatan prodemokrasi yang mencakup berbagai tokoh partai dan aliran politik yang saat itu hidup di Indonesia.

Ketika Harjono melakukan kontak dengan Bung Hatta,  mantan Perdana Menteri itu sedang mempersiapkan pembentukan PDII. "Tetapi," kata Harjono, "hanya sesekali kami bicara soal PDII. Topik utama pembicaran saya dengan Bung Hatta adalah mengenai masa sesudah Gestapu. Saya selalu menekankan kepada Bung Hatta supaya bersiap-siap mengambil alih kepemimpinan nasional."

Menurut Harjono,  dalam pertemuan dengan Liga Demokrasi,  Bung Hatta diminta supaya melakukan komunikasi dengan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto yang saat itu sedang memegang komando menumpas pemberontakan Gestapu/PKI.

"Bagi kalangan sipil ketika itu,  sesudah Presiden Sukarno jatuh,  penggantinya tidak ada lain kecuali Bung Hatta. Atas dasar itu,  Liga Demokrasi mendesak Hatta untuk membuka kontak dengan Mayjen Soeharto," tutur Harjono yang pada 1980 turut menandatangani Petisi 50 mengeritik pidato Presiden Soeharto yang mengidentikkan dirinya dengan Pancasila.

Kontak dibuka,  tetapi tidak pernah ada jawaban dari Mayjen Soeharto. "Belakangan kita tahu,  rupanya Angkatan Darat mempunyai rencana sendiri."

Tentara, menurut Deliar Noer, tidak menghendaki Hatta tampil kembali di pentas politik nasional karena mereka takut dikembalikan ke tangsi oleh Hatta.

Dua Perbedaan

Menurut Deliar Noer,  ada dua hal yang mula-mula menimbulkan perbedaan antara Hatta dengan para penggagas yang lain. Pertama,  soal nama. Hatta mengusulkan agar partai yang akan dibentuk diberi nama "Partai Demokrasi Rakyat Islam Indonesia". Nama ini memang mencerminkan cita-cita Hatta tentang kedudukan rakyat dalam demokrasi.

Nama ini bukan menekankan pada "demokrasi rakyat" dalam pengertian people's democracy Eropa Timur, melainkan bahwa partai bersifat demokrasi dan memperjuangkan tegaknya demokrasi,  juga bahwa partai kepunyaan rakyat yang beragama Islam untuk tanah air dan bangsa Indonesia.

Akan tetapi sebagian besar pemerakarsa keberatan dengan nama yang diusulkan oleh Hatta itu. Bagaimanapun,  nama "demokrasi rakyat" mudah diasosiasikan dengan "people's democracy" Eropa Timur,  dan dengan demikian mudah mendapat tanggapan negatif.

Diusulkan nama baru: "Partai Demokrasi Islam Indonesia". Hatta tidak keberatan.  Unsur demokrasi,  Islam,  dan Indonesia,  tertera dalam nama baru.

Dengan mencantumkan "demokrasi Islam", akan terkemukakan pendapat bahwa demokrasi tersebut tidak dimaksudkan untuk meniru demokrasi Barat yang tercermin dalam liberal democracy atau Western democracy. Juga tidak seperti people's democracy.

Perbedaan kedua, menyangkut dasar partai. Hatta dalam hal ini mengusulkan agar PDII berdasarkan "Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,  Peri Kemanusiaan,  Persatuan Indonesia,  Kedaulatan Rakyat, dan Keadilan Sosial."

Menurut para penggagas yang lain,  rumusan itu semata-mata mengambil pengertian Hatta tentang Pancasila, dan melupakan bahwa kalangan lain, bahkan pihak komunis juga mempergunakannya di masa Demokrasi Terpimpin. Para penggagas meminta pembatasan yang tegas tentang Pancasila ini. Pembatasan itu ialah Islam.

Dengan dasar Islam,  sesungguhnya pengertian Pancasila sudah tercakup,  karena jika Ketuhanan Yang Maha Esa dipahami sebagai tauhid --seperti pemahaman Ki Bagus Hadikusumo, KH A Wahid Hasjim,  dan H Agus Salim pada 1945-- bagi kalangan Islam tidak ada lagi persoalan dengan Pancasila, dan sebaliknya ajaran Islam tidak dipersoalkan lagi di dalam rangka memahami Pancasila.

Menurut Deliar, sejatinya antara Hatta dengan pemerakarsa,  tidak ada perbedaan yang prinsipil.  Perbedaan hanya mengenai perumusan. Pertama,  semata-mata menggunakan Pancasila sebagai rumus,  dianggap tidak mencerminkan integritas diri sebagai Muslim.

Kedua, mempergunakan hanya kata Pancasila,  menggambarkan kekurangyakinan terhadap Islam. Ketiga, seakan membenarkan anggapan orang bahwa Islam terpakai hanya untuk kalangan tertentu saja.  Keempat, nama Islam sebagai simbol berkurang nilainya,  padahal nama ini seharusnya menjadi kebanggaan Muslim dalam menghadapi apapun.

Akhirnya disepakati rumusan: "PDII berjiwa Islam, dan bersifat nasional,  berjuang atas dasar Pancasila." "Berjiwa Islam" dimaksudkan untuk memberi tekanan tentang ajaran Islam yang pokok,  yaitu niat, dasar bagi setiap perbuatan insan, dan bahwa tiap perbuatan partai senantiasa terikat pada ajaran Islam. "Bersifat nasional" menekankan kepentingan bangsa, bukan individu,  dan bukan untuk menegakkan Pan-Islam.  "Berjuang atas dasar Pancasila" karena memang Pancasila tidak bertentangan dengan Islam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement