Selasa 13 Jun 2017 16:18 WIB

Sinergi Kehidupan Beragam dan Bernegara

Rep: Eric Iskandarsjah / Red: Gita Amanda
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid Yunahar Ilyas, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur wahid, Rektor UMY Syamsul Anwar, dan Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas (dari kiri-kanan) berfoto bersama saat peluncuran tafsir Alquran at-Tanwir
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid Yunahar Ilyas, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur wahid, Rektor UMY Syamsul Anwar, dan Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas (dari kiri-kanan) berfoto bersama saat peluncuran tafsir Alquran at-Tanwir

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Dalam mewujudkan kehidupan dan bernegara yang harmonis, tentu diperukan nilai-nilai yang digunakan sebagai acuan. Salah satuya adalah nilai agama.

Hal itu kemudian mendorong Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah untuk menggalakan Manhaj Muhammadiyah dalam kehidupan berbagsa dan bernegara. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Syamsul Anwar mengatakan, salah satu bagian dari Manhaj Muhammadiyah dalam kehidupan berbagsa dan bernegara adalah manhaj tarjih.

"Manhaj tarjih adalah sistem tarjih," ujar Syamsul Anwar saat dijumpai Republika.co.id di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Selasa (13/6). Tarjih menurutnya adalah suatu istilah dalam disipilin ilmu agama Islam yakni unsur fiqih metodologi hukum Islam.

Tujuan dari adanya tarjih adalah untuk memilih dan menguatkan salah satu pendapat mengenai suatu masalah. Namun, lanjutnya, dalam Muhammadiyah makna ini telah berkembang, sehingga tak lagi hanya mengkaji pendapat ulama untuk mencari mana yang dibanding lebih kuat, tapi menjadi pengkajian masalah-masalah kehidupan masyarakat dipandang dari sudut agama Islam.

Sedangkan manhaj tarjih berarti sistem dalam melakukan pengkajian tersebut. "Sistem ini memuat empat komponen," kata Syamsul yang juga merupakan tenaga pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Komponen pertama adalah wawasan atau perspektif, kemudian sumber atau refrensi, sedangkan komponen ketiga adalah pendekatan. Komponen selanjutnya adalah prosedur teknis atau metode.

Pada komponen perspektif sendiri terdapat beberapa unsur, yakni perspekti tentang agama itu sendiri. Menurut Syamsul, paham agama Islam dalam Muhammadiyah adalah pemahaman agama yang mainstream atau paham yang sangat umum dan bersumber pada Alquran dan sunah.

"Jika terdapat perbedaan, itu sebetulnya hanya bagian kecil saja. Seperti doa qunud dalam Shalat Subuh serta Tarawih 11 raka'at," kata dia.

Unsur berikutnya adalah tajdid. Dalam Muhammadiyah, tajdid memiliki dua makna yakni mengembalikan tuntunan agama seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dalam Alquran dan sunah. Ini berkaitan langsung dengan ibadah dan aqidah.

Makna berikutnya dari tajdid adalah dalam kehidupan bermasyarakat. Ia mengatakan, Muhammadiyah mengistilahkanya dengan muamalat duniawiah. Ini sifatnya adalah dinamis dari suatu pemahaman agama dan memiliki sifat berkemajuan. Artinya, lanjut dia, Muhammadiyah melakukan reinterpretasi terhadap ajaran agama sesuai dengan kondisi zaman sekarang.

Tarjih pun juga memiliki sifat toleran, sehingga sifatnya bukan menjatuhkan atas pendapat yang lain. Tetapi apa yang ditetapkan tarjih merupakan capaian maksimal yang telah dikaji dan dapat dipahami. Selain itu, tarjih juga bersifat terbuka sehingga dapat menerima kritik dari manapun. Bahkan terdapat himbauan agar orang dapat melakukan penyelidikan atas putusan tertentu dan dapat mengirimkan kesimpulan yang dapt dilengkai dengan dalil.

Selain itu, tarjih dalam Muhammadiyah juga tidak berafiliasi mahzab. "Independen tapi tidak mengabaikan mahzab tertentu. Sehingga, ketika terdapat persoalan, maka semua pendapat dari mahzab tertentu akan dikaji dan dilihat mana yang sekiranya lebih cocok dengan kondisi zaman dan mana yang lebih dekat kepada tuntunan Alquran dan sunah," ujarnya.

Sedangkan pada komponen berikutnya yakni komponen sumber, terdapat dua sumber pokok yakni Alquran dan sunah. Sehingga seluruh kegiatan Muhammadiyah harus mengacu pada kedua sumber itu.

Pada komponen ketiga yakni pendekatan dalam memahami agama, terdapat tiga pendekatan yakni pendekatan bayani yang berdasarpada sumber pokok agama baik Alquran dan hadist. Pendekatan kedua adalah pendekatan burhani yang berdasar pada teori ilmu pengetahuan yang berkembang.

"Ini berkaitan dengan Islam yang berkemajuan, karena ciri dari Islam yang berkemajuan adalah dengan percaya terhadap ilmu pengetahuan," ujarnya.

Pendekatan berikutnya adalah pendekatan irfani yang artinya pengetahuan iluminatif. Dengan kata lain, ini adalah pengetahuan yang tidak berasal dari analisa empiris melainkan pengetahuan yang langsung dipancarkan oleh Allah kepada orang yang dekat kepada Allah.

Dengan kata lain, pendekatan ini mengandalkan pada intuisi yang menurut dia, intuisi seseorang dapat berkembang jika seseorang mendekatkan diri kepada Allah sehingga hati seseorang tersebut menjadi bersih. Sehingga timbul kepekaan nurani dan batin saat mengambil suatu keputusan.

Sedangkan pada komponen berikutnya yakni prosedur teknis atau metode. Di Muhammadiyah, metode yang digunakan berbasis pada dua asumsi. Asumsi pertama adalah asumsi integralistik sehingga suatu persoalan tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengambil satu atau dua ayat.

"Dengan begitu, maka setiap persoalan harus melibatkan seluruh ayat dan hadi yang ada dan dikaji secara menyeluruh lengkap dengan catatan historisnya," kata dia.

Asumsi berikutnya adalah asumsi hierarki. Urutan pertama dalam hierarki hukum adalah hukum Far'i yang mencakup tentang halal dan haram. Urutan berikutnya adalah asas-asas umum kemudian diikuti dengan nilai-nilai dasar Islam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement