Senin 12 Jun 2017 12:50 WIB

KPAI Minta Kemendikbud Kaji Ulang 5 Hari Sekolah

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Nur Aini
Sejumlah siswa SD Negeri 3 mengikuti Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) mata uji Pendidikan Agama Islam pada hari pertama di Lhokseumawe, Aceh, Senin (15/5). Jadwal UN SD/MIN tahun pelajaran 2016/2017 dimulai 15 -17 mei 2017 dan UN susulan dilaksanakan serentak pada  22-24 Mei mendatang.
Foto: Rahmad/Antara
Sejumlah siswa SD Negeri 3 mengikuti Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) mata uji Pendidikan Agama Islam pada hari pertama di Lhokseumawe, Aceh, Senin (15/5). Jadwal UN SD/MIN tahun pelajaran 2016/2017 dimulai 15 -17 mei 2017 dan UN susulan dilaksanakan serentak pada 22-24 Mei mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengkaji ulang kebijakan lima hari sekolah dalam sepekan. KPAI mengambil sejumlah sikap terhadap rencana kebijakan tersebut.

"Menyikapi pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI mengambil langkah kebijakan baru lima hari per delapan jam belajar di sekolah, KPAI memandang penting menyampaikan beberapa hal," kata Wakil Ketua KPAI Susanto dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (12/6).

Pertama, menurutnya, Indonesia membutuhkan arsitektur sistem pendidikan yang berorientasi jangka panjang. Ia meyakini, performa pendidikan 50 tahun hingga 100 tahun harus dirumuskan dengan pasti, bukan mengganti kebijakan setiap ada pergantian Menteri Pendidikan. Menurutnya, apabila hal itu terus terjadi, pendidikan hanya sekadar ditempatkan sebagai uji coba atau gim politik.

Dia menilai, apabila pendidikan dianggap sebagai gim politik, dampaknya bukan hanya bagi masa depan generasi, tetapi bagi peradaban bahkan nasib bangsa puluhan hingga raturan tahun mendatang. Kedua, Susanto berujar, apabila melihat dari perspektif regulasi, kebijakan baru lima hari per delapan jam belajar di sekolah bertentangan dengan undang-undang.

Ia menjabarkan, dalam Pasal 51 UU Sisdiknas disebutkan, pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Menurutnya, kebijakan itu tidak senapas dengan UU Sistem Pendidikan Nasional yang selama ini cukup demokratis dan memandirikan satuan-satuan pendidikan, khususnya, untuk mengembangkan pilihan model sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesiapan sekolah/madrasah masing-masing.

Selain itu, ia mengatakan, jika berkaca terhadap ketentuan waktu kerja guru yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU Guru dan Dosen disebutkan, beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan. Dalam ayat (2), beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. Menurutnya, kebijakan baru lima hari per delapan jam belajar di sekolah berpotensi besar, guru melampaui jumlah jam mengajar di sekolah yang telah diatur dalam UU dimaksud.

Ketiga, apabila melihat perspektif sosio-kultural, kebijakan baru lima hari per delapan jam belajar di sekolah tidak senafas dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat beragam dan multikultur. Ia mengingatkan, Indonesia itu bukan kota, tetapi sangat beragam. Sehingga, dengan keragaman yang ada, sistem pendidikan harus relevan bukan justru bertentangan dengan potret faktual sosio-kultural masyarakat.

Dia menilai semangat besar Presiden untuk memperkuat pendidikan karakter di sekolah harus didukung dan dirumuskan dengan cermat. Tujuannya agar arsitektur pendidikan masa depan yang berorientasi jangka panjang, khas dan menjawab masyarakat yang bineka dalam segala hal. Namun solusinya bukan menambah jumlah jam belajar di sekolah.

Kempat, apabila melihat peta kecenderungan masyarakat terhadap pendidikan, kebijakan baru lima hari per delapan jam belajar di sekolah merupakan sistem layanan pendidikan yang menjawab kebutuhan kelas sosial tertentu, terutama kelompok masyarakat urban. Ia meminta pemerintah memberikan kebebasan kepada satuan pendidikan yang memilih model tersebut, untuk memenuhi kelompok masyarakat tertentu, tetapi bukan memaksakan model tersebut direalisasikan untuk semua satuan pendidikan di Indonesia. Menurutnya, apabila hal itu terjadi, justru merupakan bentuk degradasi sistem pendidikan nasional.

Kelima, KPAI meminta Mendikbud agar mengaji ulang kebijakan baru. Susanto menuturkan, membangun sistem pendidikan harus holistik yang meniscayakan tiga hal penting, yakni memperkuat sistem layanan pendidikan di sekolah, memperkuat peran keluarga dalam pengasuhan/pendidikan sebagai sekolah pertama bagi anak serta, memperkuat keterlibatan masyarakat. Sasanto menuturkan, semakin kompleksnya anak yang menjadi pelaku tindakan menyimpang, bukan karena kurangnya jam belajar di sekolah, tetapi layanan pendidikan di sekolah yang perlu dievaluasi. Selain itu, peran keluarga juga perlu dikuatkan, keterlibatan lingkungan sosial yang perlu dipastikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement