REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyatakan, dugaan kesalahan proses penegakan hukum yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harus dilakukan di pengadilan.
"Kalau KPK salah jalan dalam proses penegakan hukum, prosesnya adalah pengadilan, prapereadilan," kata dia di Jakarta, beberapa waktu lalu.
DPR bersikeras membentuk pansus hak angket KPK. Tujuannya untuk membuka kebobrokan lembaga antirasuah itu. Menurut Feri, konsep hak angket dalam pelaksanaan UU MD3, yaki tata negara itu pemerintah (presiden dan bawahannya).
"Jadi Pasal 79 UU MD3 itu, (hak angket) untuk mengawasi presiden dan pemerintah, bukan lembaga independen lainnya," jelasnya.
Feri berujar, KPK adalah lembaga yang harus dibenahi oleh lembaga yudikatif. Selama ini konsep itu yang berlaku untuk mempermasalahkan proses hukum KPK.
"Tiba-tiba DPR dengan berbagai alasan, pelaksanaan UU, tapi pelaksanaan UU itu dalam ruang pemerintahan. Karena pemerintah pelaksana UU. (hak angket) itu pandai-pandai DPR," jelasnya.
Feri menegaskan, DPR tidak boleh menafsirkan penggunaan hak angket secara kelompok. Sebab, penafsiran itu sarat dengan kepentingan politik dalam kurun waktu tertentu.
"Kalau mau menafsirkan ke MK (mahkamah konstitusi). Walalpun mereka membuat UU, tak boleh menafsirkan," ujar Feri.
Ia menegaskan, dalam Pasal 79 UU MD3 sangat jelas disebutkan hak angket diperuntukkan bagi pemerintah.
Feri mengaku dengan langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, presiden sangat lambat merespon serangan terhadap KPK.