Rabu 07 Jun 2017 20:11 WIB

KPK Geledah Lagi Gedung DPRD Jatim

Rep: Binti Sholikah/ Red: Andi Nur Aminah
Petugas membawa Ketua Komisi B DPRD Jatim Mochamad Basuki (ketiga kiri) yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) masuk ke Gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/6).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Petugas membawa Ketua Komisi B DPRD Jatim Mochamad Basuki (ketiga kiri) yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) masuk ke Gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/6).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan penggeledahan di gedung DPRD Jawa Timur, Rabu (7/6). Petugas KPK tiba di Gedung DPRD Jatim sekitar pukul 09.00 WIB.

Pintu gedung tertutup dari depan. Sejumlah petugas Brimob berjaga di beberapa titik dalam gedung. Saat Republika.co.id mencoba masuk gedung, petugas Brimob menanyai dan meminta segera keluar dari dalam gedung.

Sekitar pukul 14.40 WIB, tiga orang petugas KPK terlihat keluar dari gedung DPRD. Mereka membawa barang bukti yang dimasukkan ke dalam koper. Saat keluar gedung, tidak ada pernyataan dari petugas KPK.

Namun, ternyata penggeledahan masih dilanjutkan oleh petugas KPK lainnya. Sejumlah petugas Brimob terlihat masih berjaga di dalam gedung DPRD. Hingga pukul 18.00 WIB, gedung DPRD masih dijaga Brimob. Petugas KPK belum terlihat keluar gedung.

Penggeledahan tersebut terkait operasi tangkap tangan (OTT) kasus suap setoran triwulan yang diungkap KPK pada Senin (5/6). KPK telah menetapkan enam tersangka. Masing-masing Ketua Komisi B DPRD Jatim Mochamad Basuki, dua staf DPRD yakni Agung dan Santoso, Kepala Dinas Pertanian Jatim Bambang Haryanto, Kepala Dinas Peternakan Jatim Rohayati, serta ajudan Kepala Dinas Pertanian bernama Anang Basuki Rahmat.

Sementara itu, Pengamat Politik dari FISIP Unair, Gitadi Tegas menyatakan kasus suap antara pejabat pemerintah dan anggota legislatif kerap terjadi. Namun selama ini tidak pernah bisa dibuktikan. "Ini fenomena umum. Menurut saya ini problem besar di republik ini. Para pembuat kebijakan saling konspirasi untuk kepentingan pribadi, kental dengan pendanaan partai," ujarnya.

Gitadi menegaskan, tanpa suap-menyuap pun pejabat legislatif dan eksekutif bisa menjalankan fungsinya masing-masing. Namun, terkadang pejabat eksekutif bersikap pragmatis supaya kepentingannya berjalan lancar. Sementara anggota legislatif mau mengakomodasi kepentingan tersebut sehingga terjadi politik transaksi. "Itu jelas sesuatu yang salah. Tanpa menyuap bisa asalkan masing-masing menjalankan amanah. Tapi orang yang mempunyai decision maker berpotensi melakukannya," kata Gitadi.   

Secara terpisah, Pengamat Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga Wayan Titip Sulaksana mengatakan, tindakan suap merupakan gratifikasi. Baik pemberi maupun penerima pemberian, sama-sama melakukan kejahatan korupsi. Terlebih lagi adalah pejabat pemerintah (pemberi) dan penyelenggara negara (penerima). "Apakah dana yang diberikan itu dari APBD atau non APBD secara hukum tidak ada bedanya. Sama saja gratifikasi," ujarnya.

Karenanya, ia menilai tindakan KPK melakukan OTT sah secara hukum. Menurutnya, kejahatan suap maupun gratifikasi tersebut melanggar pasal 5, pasal 11 dan pasal 12 Undang-Undang No 2 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement