REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Budayawan Jaya Suprana mengkritisi penggunaan Pancasila sebagai senjata pamungkas politik akhri ini. Dalam tulisan berjudul Pancasila Bukan untuk Debat untuk Rakyat yang dirilis Senin (5/6), ia menilai, Pancasila digunakan untuk menghancurkan karakter mereka yang dianggap sebagai lawan.
"Bahkan akhir-akhir ini Pancasila sudah didayagunakan sebagai sejenis senjata pamungkas politik demi menghancurkan karakter mereka yang dianggap sebagai lawan oleh pihak-pihak yang merasa diri benar-benar mengerti akibat merasa telah menghayati makna Pancasila yang benar-benar sebenar-benarnya benar," ujarnya.
Berikut tulisan lengkap Jaya Suprana;
Saya senantiasa takjub ketika mendengar orasi atau membaca tulisan tentang Pancasila oleh para tokoh yang benar-benar menguasai Pancasila secara paripurna berdasar wawasan pandang sejarah, politik, sosiologi, psikologi, psikososiologi, antropologi, etimologi, filologi, teologi, dan logi-logi lain-lainnya.
Bahkan akhir-akhir ini Pancasila sudah didayagunakan sebagai sejenis senjata pamungkas politik demi menghancurkan karakter mereka yang dianggap sebagai lawan oleh pihak-pihak yang merasa diri benar-benar mengerti akibat merasa telah menghayati makna Pancasila yang benar-benar sebenar-benarnya benar.
Memang selalu menarik menyaksikan suatu pertarungan selama diri kita tidak terlibat di dalam pertarungan yang sedang dipertarungkan seperti misalnya menonton pertarungan sepak bola, tinju, gulat, bulutangkis dan lain sebagainya.
Menonton film perang berlumuran darah berkisah tentang sesama manusia membinasakan sesama manusia juga menarik selama kita tidak terlibat langsung di dalam kemelut peperangan yang sebenarnya.
Maka menonton pertarungan politik di panggung politik di mana mereka yang bertarung masing-masing menggunakan Pancasila sebagai senjata pamungkas penghancur karakter lawan juga sangat menarik.
Bahkan menakjubkan, kehebatan sesama warga Indonesia yang merasa paling mengerti Pancasila mengerahkan segenap perbendaharaan jurus kesaktianmandragunaan Pancasila demi menaklukkan lawan di panggung politik.
Setiap kali saya mendengar orasi dan membaca tulisan kupas habis Pancasila di arena pertarungan Pancasila, sanubari saya tergetar dengan rasa kagum di samping malu sebab tersadar bahwa ternyata diri saya tidak tahu apa pun mengenai Pancasila.
Setiap kali saya asyik menonton pertarungan dengan senjata godam Pancasila menyelinap pula rasa bersalah ke lubuk sanubari terdalam saya. Rasa bersalah akibat pada tanggal 28 September 2016, saya gagal menyelamatkan warga Bukit Duri dari angkara murka penggusuran.
Beruntung
Saya termasuk warga Indonesia yang beruntung menikmati kemerdekaan bangsa, negara dan rakyat Indonesia yang telah diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta sejak 17 Agustus 2017 tanpa pernah mengalami derita digusur.