Jumat 02 Jun 2017 15:40 WIB

Rektor Dipilih Presiden Dinilai Perlemah Hak Berekspresi

Rep: Dadang Kurnia / Red: Teguh Firmansyah
Tjahjo Kumolo
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Tjahjo Kumolo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia Arif Susanto menilai, maraknya ideologi radikalisme tidak bisa dijadikan alasan pemerintah untuk mengintervensi pemilihan rektor Universitas Tinggi. Apalagi, menurutnya intervensi tersebut bisa berdampak pada pelemahan kemerdekaan berekspresi di kampus.

"Pembatasan ide radikal dalam kampus tidak patut dijadikan alasan intervensi pemerintah terhadap pemilihan rektor, yang dapat berdampak pada pelemahan kemerdekaan berekspresi di kampus sendiri," kata Arif saat dihubungi Republika, Jumat (2/6).

Menurut Arif, pembatasan ide radikal tersebut justru jauh lebih efektif dilakukan lewat penyebarluasan gagasan demokrasi inklusif, yang selama ini menjadi spirit kehidupan kenegaraan Indonesia. Selain itu, kontekstualisasi isi Pancasila sesuai situasi zaman juga berkontribusi penting bagi terbangunnya solidaritas sosial, sehingga paham radikalisme bisa dibatasi.

"Pembatasan paham radikal jauh lebih efektif dilakukan lewat penyebarluasan gagasan demokrasi inklusif, yang selama ini menjadi spirit kehidupan kenegaraan kita. Kontekstualisasi isi Pancasila sesuai situasi zaman juga berkontribusi penting bagi terbangunnya solidaritas sosial," jelas Arif.

Seperti diketahui, pada Kamis, (1/6) Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa pemerintah berencana menyusun kebijakan pemilihan rektor perguruan tinggi (PT) yang melibatkan rekomendasi presiden. Kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh maraknya ideologi radikalisme yang masuk ke kampus-kampus.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement