Kamis 01 Jun 2017 04:59 WIB

Kisah Soekiman, Integritas Bung Hatta: Mengapa Saya Dikecualikan?

Presiden Sukarno berbicara di depan rakyat pada 1946.
Foto:
Dr. Soekiman Wirjosandjojo (1898-1974)

Bagai anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, rencana pembentukan DPRGR terus berjalan. Pada saatnya, Presiden Sukarno melantik anggota DPRGR berjumlah 283 dengan komposisi sebagai berikut: PNI 44, NU 36, PKI 30, PSII 5, Perti 2, Parkindo 6, Partai Katolik 5, Murba 1, Partindo 1, Golongan Fungsional 31, dan wakil lain-lain 23.

Dalam daftar calon anggota DPRGR, terdapat nama Dr Soekiman Wirjosandjojo (1898-1974) mewakili golongan cendekiawan. Konon Presiden Sukarno akan menjadikan Soekiman sebagai Ketua DPRGR. Secara politis, Soekiman bagi Sukarno, sangatlah penting.

Soekiman adalah Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1924), yang kemudian menjadi aktifis partai politik Islam. Ketika Partai Masyumi didirikan, Soekiman dipilih oleh Kongres Umat Islam menjadi Ketua Pengurus Besar (1945-1949) mendampingi Hadratus Syaikh K. H. Hasjim Asj’ari yang dipilih menjadi Ketua Majelis Syuro. Soekiman juga tercatat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI, 1945).

Meskipun sama-sama Masyumi, Soekiman dikenal sering tidak sejalan dengan Mohammad Natsir (1908-1993), tokoh yang menggantikannya sebagai Ketua Masyumi. Bahkan di awal kemerdekaan, ketika Natsir lebih sejalan dengan Sutan Sjahrir (1909-1966) dalam politik perundingan, Soekiman justru berkoalisi dengan Tan Malaka (1897-1949) mengoposisi Sjahrir dengan membentuk Persatuan Perjuangan.

Dengan latar belakang seperti itu, jika Soekiman bersedia diangkat menjadi anggota DPRGR, apalagi menjadi Ketua, wibawa politik lembaga besutan Bung Karno itu tentulah akan terangkat. Di luar dugaan, Soekiman menolak penunjukan Presiden Sukarno.

Soekiman yang di kalangan Masyumi akrab disapa “Pak Dokter” merasa sukar untuk waktu yang begitu pendek bergeser tanpa konsultasi dengan partai-partai sehaluan lainnya yang baru saja bersama mengadakan kebulatan tekad di belakang Ketua Parlemen Mr. Sartono, dari tempat dan pendirian yang menurut rasio dan semangat pada waktu itu disadari kebenarannya, ke tempat lain, apalagi ke posisi yang bayangan kemungkinan terwujudnya telah membangkitkan serentak semangat menantang.

Soekiman merasa heran dirinya dimasukkan ke dalam kelompok cendekiawan, sebab dalam sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, nama Soekiman selalu tercatat sebagai salah satu dari tokoh-tokoh (top figure) Masyumi.

Soekiman juga tidak mengerti mengapa dirinya dikecualikan dari tindakan Presiden Sukarno untuk mengeluarkan Masyumi dalam usahanya meretool DPR pilihan rakyat menjadi DPRGR.

“Saya telah ditetapkan di luar tahu dan persetujuan saya sebagai anggota mewakili golongan cendekiwan dalam lembaga Demokrasi Terpimpin, hingga merasa didudukkan dalam posisi yang sangat sulit,” tutur Soekiman.

Kesimpulan dari sikap Soekiman ialah: “Sukarlah kiranya diharapkan daripada saya suatu sikap yang mengandung unsur ketidakperwiraan bahkan yang bersifat kerendahan budi, jika umpamanya sampai terjadi Masyumi dieksitkan dari, dan saya sedia dimasukkan dalam DPRGR.”

Hanya seorang berintegritas tinggi yang dapat bersikap seperti Soekiman.

*Lukman Hakim, peminat sejarah, mantan staf ahli Wapres Hamzah dan M Natsir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement