REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Adiwarman A Karim
Paul Krugman, pemenang Nobel Ekonomi tahun 2008, dalam artikelnya “Recent History in One Chart” menjelaskan bagaimana pendapatan yang diukur dengan daya beli meroket naik dengan cepat di kelompok penduduk berpendapatan menengah di negara-negara berkembang seperti Cina, namun pada saat yang sama kelompok penduduk ini di negara-negara maju seperti AS malah dibelit kesulitan ekonomi.
Krugman menjelaskan fenomena yang terjadi dalam kurun waktu 1998-2008 itu dengan menggunakan teori yang disebutnya New Economic Geography, yaitu penerapan teori perdagangan internasional ke dalam kerangka pikir ruang spatial.
Masahisa Fujita, Paul Krugman, Anthony Venables masing-masing profesor Universitas Kyoto, profesor Universitas City of New York, professor Universitas Oxford, dalam buku mereka The Spatial Economy menjelaskan bagaimana fenomena paradoks kelompok penduduk berpendapatan menengah di negara berkembang dan negara maju.
Mereka menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan ingin dekat dengan konsumen agar memudahkan distribusi barang kepada konsumen dengan biaya transportasi yang rendah. Di sisi lain, para pekerja ingin dekat dengan perusahaan tempat bekerja agar memudahkan mencapainya dengan biaya transportasi yang murah. Padahal konsumen dan pekerja adalah orang yang sama. Jadilah aglomerasi, penumpukan populasi di suatu daerah yang kemudian berkembang menjadi kota-kota besar.
Perusahaan-perusahaan membuka pabrik dan kantornya di lokasi yang banyak penduduknya, sedangkan para pekerja mencari tempat tinggal didekat pabrik dan kantor tersebut. Jadilah tempat itu kota, titik pusat pertumbuhan. Semakin besar kota itu, semakin besar pula daya tariknya bagi perusahaan dan bagi pekerja. Ini yang menjelaskan pertumbuhan Jakarta dan kota-kota satelit di sekelilingnya.
Pabrik-pabrik di Bekasi, Tangerang, Cikarang, Serpong, Depok yang tadinya didirikan untuk mendekati konsumen besar di Jakarta dengan harga tanah yang masih murah, sekarang telah menjelma menjadi kota-kota baru. Kota satelit baru yang awalnya dihuni para pekerja pabrik, kemudian menjadi perluasan kota besar yang juga dihuni para pekerja dari kota besar.
Sejalan dengan kemajuan kota, harga tanah menjadi sangat mahal. Permukiman kumuh yang tadinya terletak di pinggir kota sekarang telah disapu oleh gelombang pembangunan kota. Secara cepat garis pinggir kota terdorong lebih jauh keluar Tiba-tiba pemukiman kumuh itu sekarang telah berada di tengah kota, dan sebagian orang merasa patut menggusurnya untuk kenyamanan dan keindahan kota.
New Economic Geography yang dikembangkan oleh Krugman didasarkan pada model ekonomi kompetisi monopolistic Dixit Stiglitz. Model ini berasumsi pertumbuhan kota didorong oleh banyak perusahaan-perusahaan dengan mereknya masing-masing saling bersaing satu sama lain. Mereka tidak kuasa menentukan dan mendikte harga kepada konsumen. Dengan kerangka pikir inilah, mereka yang tidak mampu bersaing tidak akan mampu bertahan di kota dan karenanya sebagian orang melihat penggusuran sebagai suatu yang wajar dan merupakan suatu keniscayaan.
Keadaan menjadi sangat berbeda ketika kenyataannya asumsi monopolistic competition itu tidak terpenuhi. Bila terdapat beberapa perusahaan besar menguasai sebagian besar lahan, maka struktur pasar menjadi oligopoli yang mengarah pada kartel dalam proses penentuan harga. Dengan kerangka pikir ini, penggusuran dapat dipandang sebagai dampak negatif persaingan oligopoli perusahaan-perusahaan besar. Itu sebabnya bagi sebagian orang, penggusuran tidak dapat dipandang wajar atau keniscayaan. Penggusuran dipandang sebagai dampak aksi persaingan tidak sehat perusahaan-perusahaan besar.
Mengambil mentah-mentah suatu teori tanpa memahami asumsi dibelakangnya, ibarat menerapkan teori keseimbangan alam dalam suatu kebun binatang. Prinsip rantai makanan predator di alam bebas dapat menjaga keseimbangan alam. Namun bila suatu kebun binatang menerapkan prinsip ini niscaya akan habislah sebagian besar binatang didalamnya.
Economic theory of everything yang digagas Noah Smith dalam artikelnya ”One Economic Theory to Explain Everything” dan mengajukan New Economic Geography sebagai contoh, serta Mario Arturo dan Hiroaki Hayakawa dalam riset mereka “The Economic Theory of Everything” harus dipahami secara utuh.
Inilah pentingnya kaidah yang diajukan Kyai Ma’ruf Amin, guru besar ekonomi Islam, pemimpin tertinggi MUI dan NU, dalam “Makharij Fiqhiyyah”. Kaidah Tahqiq al-Manath yaitu analisis penentuan alasan suatu hukum akan mencegah kita menetapkan suatu kebijakan berdasarkan teori tertentu tanpa memahami asumsi yang digunakan dalam membangun teori tersebut.
Dixit Stiglitz model yang menjadi dasar New Economic Geography dikembangkan oleh Avinash Dixit dan Joseph Stiglitz dalam “Monopolistic Competition and Optimum Product Diversity” berasumsi adanya Free Entry Condition yaitu perusahaan baru dapat masuk ke pasar tanpa adanya hambatan apapun.
Asumsi inilah yang dalam kaidah Tahqiq al-Manath harus dilihat relevansinya dengan realitas lapangan. Untuk itu, Kyai Ma’ruf Amin mengajukan kaidah i’adah al-nazhar yaitu telaah ulang atas teori dan asumsi yang ada. Dixit Stiglitz model sangat kuat argumentasi teorinya, namun dalam penerapannya harus disesuaikan antara asumsi dan realitas.
Itu sebabnya Kyai Amin mengajukan kaidah Tafriq halal an al-haram, memilah dan memilih mana yang boleh dan mana yang tidak. Dixit Stiglitz model harus disesuaikan dengan memasukkan analisis mudarat yang ditimbulkan oligopoli para pengembang yang mengarah pada kartel. Julio J. Rotemberg dan Michael Woodford, guru besar MIT dan guru besar Universitas Chicago dalam “Oligopolistic Pricing and the Effects of Aggregate Demand on Economic Activity” dapat menjadi rujukan dalam proses memilih dan memilah.
Economic Theory of Everything harus dipahami utuh, asumsi dan teorinya, kemudian diterapkan sesuai dengan koridornya. Dalam bahasa Kyai Amin ini disebut kaidah Al-Taysir al-Manhaji yaitu keleluasaan memilih teori yang memudahkan masyarakat namun tetap sesuai aturan. Keleluasaan yang berada diluar koridor aturan akan terperosok dalam sikap terlalu menyederhanakan (mubalaghah fi taysir) dan meremehkan potensi mudarat.
Mencari keseimbangan antara al-taysir dan al-manhaji merupakan proses terus-menerus tanpa akhir. Life is like riding a bike, to keep your balance you have to keep going.