Jumat 26 May 2017 19:19 WIB

Ini Beberapa Kendala dalam Revisi UU Antiterorisme

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andi Nur Aminah
Bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (25/5) yang ditengarai sebagai aksi terorisme
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (25/5) yang ditengarai sebagai aksi terorisme

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Karjono menuturkan perampungan revisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme masih terus berjalan. Dia mengakui ada beberapa perdebatan terkait muatan materi di dalam draf UU tersebut.

Karjono mengatakan, hal pertama yang masih diperdebatkan yakni soal definisi terorisme. Pihak pemerintah beranggapan terorisme tidak perlu didefinisikan. Bagi pemerintah, muatan materi yang ada di dalam UU tersebut adalah terorisme.

"Yang belum sepakat itu, pertama, mengenai definisi terorisme. Bagi pemerintah, terorisme itu materi muatan yang ada di UU itu, itulah terorisme, sehingga tidak perlu didefnisikan. Tapi oleh DPR itu diminta supaya dinormakan," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (26/5).

Dalam proses pembahasan definisi terorisme ini, Karjono mengatakan, ada usulan bahwa terorisme didefinisikan sebagai kejahatan terhadap negara. Usulan ini sendiri dimunculkan oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. "Nah nanti TNI akan masuk sesuai UU TNI, dan UU pertahanan negara. Karena di sana kewenangan TNI itu ada," ucap dia.

Karjono menjelaskan, berdasarkan UU pertahanan negara, TNI berwenang melakukan pembinaan sebagai pasukan perang dan nonperang. Arti nonperang ini yang kemudian membuat TNI dapat masuk ke ranah pemberantasan tindak pidana terorisme.

Perdebatan berikutnya yakni pada pasal 43. Pasal ini menyebutkan pemberantasan tindak pidana terorisme dilakukan oleh Polri, TNI, dan instansi terkait lainnya yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). 

Kemudian, ucap Karjono, ada permintaan supaya norma-norma yang terkait penguatan TNI ini ditulis dalam Undang-Undang Antiterorisme. Jika dituliskan, lanjut Karjono, maka ada unsur positif dan negatifnya. 

Kalau ditulis, tambah dia, malah membatasi TNI untuk berkiprah. Di UU TNI sendiri, kewenangan TNI luas. "Kalau ditulis malah membatasi TNI untuk berkiprah karena di UU-nya sendiri bebas mau ngapain saja. TNI dengan UU TNI, Polri dengan UU Polrinya, instansi terkait lainnya juga dengan lainnya," ujar dia.

Menurut Karjono, pembahasan revisi UU anti terorisme ini memang harus jeli. Hal inilah yang membuat pembahasan revisi UU tersebut belum rampung hingga sekarang. Revisi tersebut dibahas di komisi I dan III DPR RI. Saat ini pembahasan telah memasuki tingkat panitia kerja (panja). Selasa pekan depan pun akan dibahas kembali soal revisi itu.

"Bahasan ini di pemerintah sendiri sekarang ini tinggal satu saja, semuanya sudah oke, tidak ada masalah, sekarang ini baru dibahas di tingkat panja. Hari selasa ada pembahasan tentang itu (revisi UU Antiterorisme, Red)," kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement