Selasa 23 May 2017 21:17 WIB

Proses Hukum di Sektor Pajak Diminta Diperbaiki

Hukum
Hukum

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses hukum di sektor pajak dianggap perlu diperbaiki. Dengan begitu, para wajib pajak, khususnya pengusaha, memiliki kepastian dan acuan yang jelas dalam menjalankan bisnisnya di Tanah Air. 

"Butuh reformasi dalam pajak agar semua pihak, baik pemerintah ataupun sektor swasta, memiliki dasar hukum yang jelas, sehingga berbagai asumsi ekonomi lebih dapat mudah dikalkulasi, termasuk penerimaan negara," ungkap pengamat pajak David Hamzah dari Danny Darussalam Tax Center dalam keterangannya, Selasa (23/5).

Misalnya saja, ujar David, dalam penentuan pajak PPh badan bagi perusahaan pelaku kontrak karya yang memiliki ketentuan berbeda antara satu perusahaan dan yang lainnya. "Besaran PPh yang dianut sangat dipengaruhi oleh kontrak karya yang ditandatangani. Jika saat ditandatangani kontrak karya tersebut menggunakan ketentuan PPh badan sebesar 30 persen, maka menggunakan aturan tersebut meskipun sudah berganti kepemilikan," ungkap dia.

Dia menjelaskan, beberapa perusahaan pelaku kontrak karya pertambangan harus berkewajiban membayar PPh badan sebesar 25 persen. Sementara sebagian lainnya harus terikat pada aturan PPh Badan sebesar 30 persen. 

Perbedaan tersebut sebagai akibat pemberlakuan UU 36 No 2008. Berdasarkan beleid itu, besaran PPh badan mulai 2010 diberlakukan tunggal, yaitu 25 persen. Sedangkan berdasarkan UU Pajak sebelumnya, berlaku progresif sesuai dengan besaran pendapatan. Hal tersebut kemudian berkonsekuensi pemegang kontrak karya pertambangan yang biasanya harus membayar pajak sebesar 30 persen. 

"Semuanya merujuk pada klausul di dalam kontrak karya. Apabila menggunakan peraturan 25 persen maka ikut 25 persen. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya. Meskipun peraturan sekarang sudah berlaku 25 persen, tetapi apabila kontrak karya menggunakan 30 persen maka dikembalikan sesuai dengan dokumen kontrak karya," ujar dia.

Menurut dia, hal itu membuat kegamangan bagi para investor pertambangan. Terutama bagi para pelaku yang biasanya melanjutkan kontrak karya dari perusahaan lain dan bukan membuat perjanjian baru dengan pemerintah Indonesia. 

Menyikapi perbedaan tersebut beberapa perusahaan tambang akhirnya mengajukan permasalahan tersebut ke peradilan pajak. Akan tetapi, hasil persidangan justru berbeda antara satu penggugat dan yang lainnya. Sebagian permintaannya dikabulkan, tetapi sebagian lain ditolak permohanannya. 

"Perbedaan hasil tersebut sangat dimungkinkan terjadi karena diskresi dari hakim. Setiap hakim tentunya memiliki pertimbangan dan dasar hukum sendiri untuk membuat hasil gugatan yang berbeda," terangnya. 

Menurut dia, faktor lain perbedaan putusan hakim juga lantaran kapasitas dan pengetahuan hakim tentang perpajakan. Tidak semua hakim memiliki kemampuan dan pemahaman yang sama mengenai perpajakan dan juga peraturan perpajakan. 

"Salah satu upaya yang didorong terutama di MA adalah membentuk kamar-kamar untuk penanganan kasus. Terutama untuk kasus pajak diarahkan kepada hakim-hakim yang memiliki pengalaman mengenai pajak. Hal ini penting karena pada 2015, sejumlah 1.105 dari 2.075 kasus di MA berasal dari sengketa pajak," ujar David.

Besarnya kasus sengketa pajak tersebut berasal dari ketidakpuasan pengguat atau tergugat terhadap hasil persidangan di tingkat Peradilan Pajak. "Di tingkat peradilan pajak, hanya perusahaan yang bisa mengajukan gugatan. Tapi di tingkat MA, semua pihak, termasuk kepala daerah, bisa mengajukan gugatan terhadap hasil persidangan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement