Senin 22 May 2017 19:00 WIB

Pedagang Sebut Pungli Merajalela Jelang Lebaran

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Angga Indrawan
Pungli Masih Marak Terjadi
Foto: OldApp
Pungli Masih Marak Terjadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baru-baru ini Satgas Pangan telah menangkap 10 oknum yang diduga kerap melakukan pungutan liar (pungli) di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Wakil Ketua Asosasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran menyebut, praktik pungli di pasar memang selalu ada. Bahkan, kata dia, semakin merajalela jelang lebaran. 

Lewat sambungan telepon dengan Republika, Ngadiran menuturkan bahwa bentuk pungli di pasar bermacam-macam. Mulai dari saat kegiatan menurunkan barang di pasar, menyewa jasa kuli angkut, sampai membayar biaya parkir. 

Ngadiran mencontohkan, bila ia membawa satu truk beras ke pasar induk misalnya, ia pasti membutuhkan tenaga kuli angkut untuk menurunkan barang-barang tersebut. Biasanya, pedagang akan membayar jasa kuli angkut Rp 1.000 per karung.

Namun, menurut Ngadiran, terkadang ada saja pihak yang akan menekan pedagang untuk membayar kuli dengan tarif dua kali lipat. "Misalnya saya besok mau bawa kuli sendiri, jangan harap usaha bisa panjang," tutur dia, Senin (22/5). 

Kalaupun pedagang membayar kuli angkut dengan tarif normal, maka mereka akan ditekan dari sisi lain. Misalnya, Ngadiran menyebut, tarif parkir truk dinaikkan dari Rp 10.000 menjadi Rp 50.000. Namun begitu, pungutan-pungutan itu besarannya bisa dinegosiasikan.

Menjelang lebaran, sambung dia, biaya yang harus dikeluarkan pedagang akan lebih besar. Sebab, memasuki pekan kedua atau ketiga Ramadhan, ada banyak oknum yang akan meminta THR. "Ada yang mengatasnamakan dari kelompok kuli bagian sayur, bagian ayam, bagian beras. Belum lagi dari keamanan, kebersihan, centeng legal, centeng ilegal. Macam-macam lah," papar Ngadiran.

Karena itu, sambung dia, sebagian pedagang ada yang memilih menutup tokonya lebih awal, jauh sebelum lebaran, demi menghindari oknum-oknum yang meminta jatah THR.

Ia menilai, praktek-praktek liar tersebut langgeng terjadi, terutama di pasar induk, karena oknum selalu menggunakan dalih ongkos kerja. Pedagang pun tak bisa berbuat banyak. Mereka, suka tak suka, harus menutup biaya-biaya tersebut dengan menaikkan harga pangan yang dijual ke konsumen. Karena itu, Ngadiran menyebut, sulit bagi pedagang pasar untuk mengikuti kebijakan satu harga untuk pangan yang harga eceran tertingginya diatur oleh pemerintah. 

 

 

 

 

 

Sent from my iPad=

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement